Lihat ke Halaman Asli

Abdul Mutolib

Pendidik dan pegiat literasi

Literasi dan Peradaban

Diperbarui: 27 Juni 2020   07:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara sederhana literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy memiliki makna keberaksaraan atau kemampuan membaca dan menulis (the ability to read and write).  Literasi berasal dari bahasa Latin, literatus, yang berarti "a learned person" (orang yang belajar). Dalam bahasa Yunani, juga dikenal istilah literra (huruf), sehingga literasi melibatkan kemampuan membaca dan menulis.

Dalam perkembangan selanjutnya istilah literasi mengalami perluasan makna,  sehingga muncul ragam literasi, seperti literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, dan lain sebagainya. Namun semuanya tidak terlepas dari kemampuan menggali dan mengelola informasi yang sebagian besar melibatkan kemampuan membaca dan menulis.

Kemajuan  peradaban suatu bangsa sangat terkait dengan kemampuan literasi. Kita mengenal bangsa - bangsa yang memiliki peradaban besar dalam sejarah, seperti Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani, China,  dan India. Mereka adalah bangsa-bangsa yang telah memiliki tradisi literasi yang kuat pada zamannya. Budaya literasi yang tinggi membentuk masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Sedangkan pengetahuan adalah kekuatan yang menentukan eksistensi dan kemampuan suatu bangsa dalam persaingan global.

Islam sebagai agama yang lahir di tengah-tengah masyarakat yang tidak memiliki budaya baca tulis yg kuat, dengan spirit literasi yang digaungkannya telah mampu merubah wajah peradaban Jazirah Arab menjadi peradaban besar, bahkan bangsa Arab muslim dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi selama hampir 800 tahun menguasai dunia dan menjadi poros peradaban. Kemajuan dunia saat ini pun  tidak lepas dari jasa kemajuan peradaban Islam.

Meskipun banyak upaya untuk menutupi,  jasa Islam dan para penganutnya terhadap kemajuan dunia saat ini, khususnya Barat, tetaplah nyata. Tidak sedikit tokoh Barat yang secara jujur mengakui hal ini. Salah seorang presiden Amerika, Barack Obama mengatakan: "Peradaban berhutang besar pada Islam."  Montgomery Watt juga berkata: "Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi dinamonya, Barat bukanlah apa-apa."

Sejak awal kehadirannya, Islam adalah agama yang membangun kesadaran pentingnya kemampuan dan budaya literasi. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw berisi perintah membaca (iqra') dan isyarat pentingnya transfer ilmu pengetahuan melalui budaya menulis. (alladzi a'llama  bi al-qalam/ yang mengajarkan manusia dengan perantaraan pena -QS. Al-Alaq: 4).

Perhatian Rasulullah saw terhadap literasi juga sangat jelas dalam rekaman sejarah. Di tengah-tengah masyarakat yang secara umum ummi (buta aksara, illetered), Nabi Muhammad saw telah melakukan langkah yang sangat strategis dan futuristik ketika melakukan perjanjian dengan 70 tawanan Perang Badar agar mereka mengajarkan baca tulis (literasi dasar) orang Islam sebagai tebusan bagi pembebasan mereka. Satu orang tawanan menjadi guru bagi 10 orang penduduk Madinah, dan dari kebijakan itu telah membebaskan 700 penduduk Madinah dewasa dari buta huruf. Mereka pun kemudian menjadi guru bagi penduduk yang lain.

Spirit perintah iqra' juga telah mendorong orang-orang muslim awal dan  pada abad-abad keemasan Islam menjadi dinamo penggerak kemajuan peradaban dunia. Masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam) pada periode Abbasiyah ditopang oleh tingginya budaya literasi baik dalam bentuk membaca, meneliti, berdiskusi dan menulis. Perpustakaan sebagai jantung pembudayaan literasi mendapat perhatian besar dari para pemimpin muslim pada waktu itu. Bait al-Hikmah dikenal sebagai perpustakaan umum pertama dalam Islam yang didirikan di Baghdad oleh penguasa Abbasiyah, menjadi tempat membaca, berdiskusi dan melakukan aktivitas penerjemahan.

Setelah itu muncul berbagai macam perpustakaan yang memiliki koleksi buku dari berbagai jenis ilmu pengetahuan dan dilengkapi dengan fasilitas ruang baca, ruang seminar atau diskusi dan ruang pembelajaran. Di Mesir, pada masa Fathimiyah berdiri perpustakaan Dar al Hikmah yang mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Di Andalusia, kaum muslim telah memiliki 20 perpustakaan umum. Perpustakaan Cordova misalnya, memiliki koleksi 400.000 judul buku. Sungguh suatu jumlah koleksi buku yang luar biasa untuk ukuran zaman itu. Perpustakaan gereja Canterbury  saja yang terbilang paling lengkap pada abad 14, hanya memiliki  1800 judul buku menurut catatan Chatolique Encyclopedia.

Maka tidak heran dengan budaya literasi yang tinggi, bermunculan ilmuan-ilmuan kelas dunia yang karya-karyanya tetap menjadi rujukan hingga zaman sekarang seperti Ibnu Sina, al-Kindi, al-Khawarizmi, dan lain-lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline