Sejak Jumat kemarin (29/5/2020) saya melihat ada keramaian yang terjadi di dunia akademis Indonesia, khususnya para adik-adiku mahasiswa hukum di UGM yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS). Mereka hendak menyelenggarakan diskusi online berjudul "Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan", namun akhirnya dibatalkan dengan alasan keamanan, karena panitia bahkan narasumber diskusi dikatakan mendapatkan tekanan atau teror.
Dekan FH UGM Sigit Riyanto bahkan sampai mengeluarkan Press Release yang intinya mengapresiasi dan mendukung kegiatan diskusi akademik CLS UGM yang judulnya sudah diubah menjadi "Meluruskan Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan", serta mengecam tindakan intimidasi terhadap kegiatan akademis CLS UGM yang dinilai mengancam kebebasan mimbar akademik. Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi Diskusi semacam ini?
1. Sebagai sesama civitas akademika, dan sebagai insan manusia yang sama-sama dibesarkan dalam doktrin ilmu hukum, tentu saja saya pribadi mengecam segala tindakan bernuansa intimidatif atau ancaman dengan alasan apapun. Apalagi, jika ancaman muncul karena kegiatan yang sifatnya akademis. Saya mendukung bagi pihak-pihak yang mendapatkan ancaman untuk membawa ke ranah hukum. Itu tentu saja karena negara Indonesia adalah negara hukum. Bukan negara yang tunduk oleh aksi-aksi ancaman, atau pun negara yang dikendalikan oleh opini pengakuan-pengakuan sepihak semata.
2. Saya dapat memahami kemarahan dan kekecewaan para pendukung Presiden Jokowi yang menilai judul acara diskusi tersebut provokatif karena ada kata "pemecatan". Seperti panitia yang sudah mengakui kesalahannya dari diksi kata tersebut, saya merasa para pendukung Jokowi yang kita sama-sama melihat tahun lalu bersusah payah memperjuangkan Presiden Jokowi untuk kembali menang secara konstitusional (pemilu) akan sangat tersulut membaca kalimat tersebut. Apalagi, di tengah kondisi psikologis mayoritas rakyat Indonesia yang sedang kalut karena pandemi. Menjadi wajar jika mereka memprotes judul diskusi tersebut.
3. Kita semua harus adil sejak dalam pikiran, harus bersepakat terlebih dahulu bahwa kebebasan akademik jangan sampai dijadikan tameng untuk membungkus agenda politik praktis ataupun aksi-aksi provokatif. Kritik tentu saja hal yang biasa dalam demokrasi, namun ingat itu berbeda dengan provokasi.
Semua pihak termasuk insan akademis harus pula mau menerima masukan atau koreksi bahwa ke depan jangan sampai ada dosen atau mahasiswa yang dengan sengaja membuat judul/tema diskusi yang memancing kontroversi dan mengejar viral semata, namun mengesampingkan nilai akademis. Ini menjadi penting, karena saat ini dan ke depan negara ini membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi Pandemi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H