Lihat ke Halaman Asli

Abd Rahman Hamid

Penggiat Ilmu

Sai Bumi Ruwa Jurai: Local Genius Ulun Lampung

Diperbarui: 13 Februari 2024   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Museum Lampung (dokumentasi penulis)

Abd Rahman Hamid

Dosen UIN Raden Intan Lampung

Falsafah Sai Bumi Ruwa Jurai (SBRJ) yang terpatri pada logo pemerintah Provinsi Lampung merupakan satu local genius ulun Lampung terhadap sesamanya dan orang lain. Makna falsafah ini berubah sesuai arus sejarah pembentukan masyarakat Lampung yang semakin beragam budaya dan agamanya. Keberagaman ini tak mungkin terwujud tanpa keterbukaan ulun Lampung terhadap semua masyarakat Lampung.

Kapan lahir falsafah SBJR? Sejauh penelusuran pustaka tentang sejarah dan budaya Lampung, penulis belum menemukan referensi yang mengkaji masa dan tonggak sejarah falsafah ini. Karena itu, perlu ada kajian akademik mendalam agar publik dapat mengetahui sejarahnya.

Satu kajian awal dilakukan oleh Hilman Hadi Kusuma (1989). Dalam bukunya, Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung, SBJR diartikan "Rumah Tangga Dua (asal) Keturunan". Menurutnya, pada tahun 1905 atau sebelum kedatangan trasmigran Jawa, penduduk Lampung berjumlah 156.518 jiwa, belum termasuk orang Lampung di Krui dan Komering. Kalau semuanya digabung, jumlah orang Lampung ditaksir satu juta jiwa. Lebih lanjut ia menjelaskan ulun Lampung adalah orang yang berbudaya Lampung, yang secara umum dibagi dua berdasarkan adatnya, yakni Peminggir dan Pepadun. Dua kelompok tersebut menempati satu wilayah (Sang/Sai Bumi) yakni Lampung sehingga dikenal falsafah SBRJ.  

Sebuah disertasi antopologi dari Universitas Indonesia karya Julia Maria (1993), Kebudayaan Orang Menggala, menyebutkan bahwa adat Pepadun terbentuk pada waktu pemerintahan Kesultanan Banten. Pada saat itu, orang Lampung sering mengunjungi Banten. Mereka melihat para pembesar Banten duduk tidak sama tinggi dengan orang kebanyakan. Rajanya sendiri duduk di atas singgasana. 

Dari pengalaman ini orang Lampung mengira bahwa perbedaan tempat duduk mempunyai perbedaan dalam hal wewenang. Setelah itu, para penyimbang (kepala marga) di Lampung menggunakan bangku setinggi sepuluh centimeter, lebar satu kali satu meter, dan diberi ukiran. Bangku iniah yang disebut Pepadun. Pada mulanya, pepadun hanya dimiliki penyimbang megou, namun kemudian juga oleh penyimbang tiyuh dan penyimbang suku, tulis R. Broersma (1916) dalam De Lampongsche Districten

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kelahiran Pepadun tak lepas dari hubungan Lampung dengan Banten. Menurut Tome Pires, dalam Suma Oriental (1512-1515), orang Lampung dari Tulang Bawang dan Sekampung sering berlayar ke Jawa dengan perahu lanchara untuk menjual lada, emas, dan barang-barang lain. Waktu pelayarannya antara dua sampai tiga hari. Lada Lampung sangat dibutuhkan oleh Banten.

Relasi awal Lampung dengan Banten terungkap dalam Sejarah Banten Rante-rante (Edel, 1938), yang dimulai saat sultan Banten pertama, Maula Hasanuddin (memerintah 1552-1570) berdakwah di Lampung dan Sulebar (Bengkulu). Ia didampingi oleh Raja Belau dari Tulang Bawang. Menurut Raffles, dalam History of Java, selama berdakwah Hasanuddin tidak pernah mencabut pedang dari sarungnya. Lalu, ketika pulang ke Banten ia membawa banyak pria Lampung yang kelak menjadi pasukannya menyerang Kerajaan Hidu Pakuan. Bahkan, punggawa Lampung menjadi kepala perang dalam penyerangan tersebut (Edel, 1938).  

Kalau merujuk narasi sejarah Pepadun, dalam bingkai hubungan Lampung dengan Banten, maka pembentukan dua ulun Lampung (Peminggir dan Pepadun) terjadi pada pertengahan abad ke-16. Demi mengikat hubungan antara kedua belah pihak, karena berasal dari leluhur yang sama, maka dibuatlah falsafat bersama, yakni Sai Bumi Ruwa Jurai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline