Lihat ke Halaman Asli

Jokowi dan Prabowo dari "Beti" ke "Bete"

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah gagal dalam Pileg dan tidak mampu menggalang dukungan partai lain untuk melanjutkan mengusung Calon Presiden karena tidak cukup suara, partai yang gagal itu mulai merapat ke salah satu kubu Capres dan Cawapres dalam Pilpres RI 2014; PraHa dan JW-JK.Telah terjadi perubahan cepat dan signifikan dalam Peta dukungan tersebut dan secara kasar sangat mencolok sebagaimana diilustrasikan berikut ini. Jika dalam tulisan sebelumnya kondisinya masih “beti” atau “beda tipis”, kini konstelasinya telah menjadi “bete” alias “beda tebal”, sebagaimana digambarkan berikut ini.

Koalisi Gerbong Kosong

Gambaran sekilas menunjukkan bahwa kepada pasangan inilah partai kalah yang banyak bergabung. Mereka adalah; Golkar, PKS, PAN, dan PPP yang memperoleh suara lumayan besar dalam Pileg yang lalu. Selain itu ada juga partai gurem dengan suara yang sangat kecil yaitu PBB yang bergabung sebagai anak bawang, dan kemesraan bersama Demokrat.

Tidak hanya partai, para tokoh “ngacir” seperti Raja Dangdut Rhoma Irama dan Mahfud MD juga merapat bahkan bersedia menjadi Tim Sukses untuk membalas “sakit hati” karena dikecewakan tidak jadi diusung sebagai Cawapres di kubu JW-JK. Tokoh gagal yang bergabung juga adalah Hary Tanu yang hengkang dari tempat kostnya yaitu Hanura.

Secara selayang pandang, PraHa mampu membangun sebuah koalisi besar. Namun perlu ditanyakan; apakah ketua partai tersebut mampu membawa gerbongnya dengan penumpang penuh. Dari keempat partai pendukung koalisi ini hanya PKS yang agak dapat diharapkan sekalipun dalam Pilgub DKI yang lalu suara yang diberikan massanya kepadacalon gubernur dari partai ini juga tidak maksimal. Adapun Golkar dan PPP sejak pagi hari sudah disibukkan oleh perpecahan pengurus dan massanya akibat ambisi tampilnya tokoh kotraproduktif yaitu ARB, sehingga diragukan akan mampu memberikan jumlah suara maksimal. Demokrat sendiri yang ngotot tetap menyelnggarakan “Konvensi” sekalipun sudah “nggeletak” sudah ditinggalkan oleh sejumlah tokoh yang justru memliki “pamor” kuat termasuk; Anis Baswedan dan Dahlan Iskan, yang kalaupun tidak akan membawa “buntut” suara, tetapi akan menambah kontribusi “swing voters”.

Adapun kontribusi suara dari ketiga “ronin” alias “samurai tanpa majikan”; Mahfud MD, Rhoma Irama, dan Hary Tanu sangat-sangat sulit diharapkan. Ini disebabkan latar belakang yang mendorong mereka bergabung, bukan atas dasar kesamaan visi dan idealisme, tetapi semata-mata karena “sakit hatiku, kau buat begini” untuk dua tokoh pertama dan karena “rumah kontrakan” tidak diperpanjang dan Pak Jenderal sebagai “induk semang” sudah pindah tidur di hotel lain.

Artinya koalisi besar ini bagaikan gerbong kosong tanpa penumpang yang tidak dapat diharapkan akan membawa jumlah suara dukungan yang signifikan. Oleh sebab itu, jalan terbaik yang dapat ditempuh oleh PraHa adalah meningkatkan citra personal sang calon, menawarkan program yang jelas, khas, dan inovatif. Selain itu hindarkan menyerang JokoWi menggunakan “black campaign” yang justru akan menjadi bumerang seperti dalam PilGub DKI yang lalu.

Koalisi Rakyat Banyak

Yang paling menarik, begitu kalah, Nasdem langsung menyatakan bergabung dengan JW-JK. Surya Paloh, Ketum Partai ini pun terang-terangan menyatakan bergaung tanpa pamrih dan hanya karena kesamaan visi dan idealisme. Pernyataan ini justru akan memperkuat citra kubu JW-JK. Koalisi ini juga diperkuat oleh PKB yang sekalipun pecah tetapi dengan hengkangnya kedua tokoh “merajuk”; Mahfud MD dan Rhoma justru akan membuat warga PKB semakin simpati ke Capres dan Cawapres dari kubu ini.

Bergabungnya dua orang jenderal; Wiranto bersama “kuda pincang” Hanura dan Bang Yos bersama partai guremnya yaituPKPI setidaknya memberikan citra bahwa tidak hanya PraHa yang memiliki tokoh militer , tetapi JW-JK juga punya. Dengan demikian rakyat tidak perlu takut NKRI akan goyah jika dipimpin oleh pasangan yang sepenuhnya sipil. Justru, kesan bangkitnya supermasi sipil sebagai salah satu ciri masyarakat madani akan akan lebih kuat.

Yang menarik, satu hal yang saya gundahkan dalam tulisan terdahulu yaitu kampanye yang mengandalkan Posko gaya PNI sama sekali tidak dilakukan. Kubu ini dengan cerdas menggunakan mesin kampanye simpatik dengan merangkul masyarakat umum. Program yang ditawarkan juga sangat jelas dan baru yang menjamin tidak akan terjadi “lari di tempat”. Tim sukses kubu ini juga berhasil dengan cerdas memilih bingkai yang digunakan untuk mengangkat calonnya yaitu: perubahan, kerja cepat, tanpa kesan kampanye partai. Saran yang dapat diajukan:” Anjing menggonggong kafilah lalu, terus bangun kampanye yang bernuansa “ dari kita, oleh kita, dan untuk kita agar calonmu menjadisahabat semua orang, bukan semua partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline