Lihat ke Halaman Asli

Abdi Husairi Nasution

TERVERIFIKASI

Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Konflik Tolikara, Mari Kita Belajar dari Upin dan Ipin

Diperbarui: 22 Juli 2015   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - bersatu dalam perbedaan (Kompas/Antony Lee)

Tiba-tiba Tolikara menjadi daerah terkenal di seluruh Indonesia, menjadi bahan pembicaraan di semua media. Saya pun baru mendengar nama Tolikara setelah nama itu dibicarakan dan menjadi headline news di media. Bukan karena daerahnya yang indah, bukan pula ada yang berprestasi di daerah tersebut. Tapi Tolikara terkenal karena adanya insiden yang dapat mengganggu toleransi umat beragama, baik di Tolikara maupun Indonesia secara keseluruhan. Tolikara membara di hari pertama lebaran, sebuah musala dan beberapa kios di daerah itu dibakar oleh sekelompok orang.

Insiden Tolikara bukanlah kasus pertama, kasus-kasus sejenis sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia, meski cakupan insiden Tolikara tak luas tapi bisa merembet kemana-mana dan mengundang kelompok lain di luar Tolikara. Akibatnya bisa diduga, kerusuhan meluas pun bisa terjadi dan tak kunjung selesai apalagi kalau menyangkut soal agama. Masing-masing kelompok agama akan berjuang membela agama yang dianggapnya benar, tak peduli apakah tindak kekerasan yang bakal terjadi sesuai dengan ajaran agamanya atau tidak.

Dalam kerusuhan berbau agama orang tak lagi berpikir rasional, yang penting agamanya harus dibela dan apa yang dianggapnya benar harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Apalagi kalau itu menyangkut pengrusakan rumah ibadah, sama saja merusak rumah Tuhan, dan menghina agama yang bersangkutan. Itulah sebabnya, kenapa insiden Tolikara mendapat perhatian yang sangat serius. Kalau dibiarkan, Tolikara bisa seperti Maluku dan Palu, insiden yang sama pernah terjadi di kedua daerah tersebut, bahkan melibatkan kelompok lain dari luar daerah hingga memicu kerusuhan yang hampir tak berakhir. Insiden Tolikara bisa memicu insiden yang sama di daerah lain. Integrasi nasional pun menjadi taruhannya.

Insiden Tolikara tak bakal terjadi kalau sejak dulu kita belajar tentang keragaman dengan benar. Sejak zaman orde baru, kita memang dikenalkan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, penataran P4 pola 100 jam pun digalakkan. Anak-anak sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi diajarkan tentang Pancasila melalui PMP dan PPKn. Di perguruan tinggi malah ada mata kuliah Kewiraan pada masa saya dulu. Semuanya belajar tentang kebhinekaan di Indonesia. Namun faktanya, kita tak pernah dibuat bangga tentang keragaman itu. Kita cuma diberi pengetahuan tentang keragaman tanpa diberitahu bagaimana keragaman harus diperlakukan. Pelajaran keragaman baru menyentuh ranah kognitif tapi tidak menyentuh ranah afektif dan psikomotorik.

Tanda-tanda keanehan atau anomali sudah diperlihatkan dalam pelajaran tentang keragaman atau kebhinnekaan. Di setiap buku pelajaran sekolah dasar, kita cuma dikenalkan dengan nama-nama seperti Budi, Wati, Tono, Susi, dan nama-nama umum lainnya. Jarang ditemukan nama lain yang berbau kedaerahan. Anak saya saja tak begitu paham kalau Chaniago itu dari Sumatera Barat, Hutasuhut dari Sumatera Utara, Numbery dari Papua, atau Likumahua dari Maluku. Bahkan ironisnya, nama-nama berbau Cina seolah haram masuk buku pelajaran. Keragaman tak dianggap sebagai kekayaan bangsa dan kekayaan budaya. Begitu pula dengan atribut-atribut yang mewakili agama tertentu, seringkali tak ditampilkan dalam buku-buku pelajaran umum. Atribut-atribut keagamaan kerap dinterpretasikan dan dicurigai sebagai proses agamisasi agama tertentu bagi anak-anak didik. Anak-anak didik tak diajarkan bagaimana cara memperlakukan keragaman itu dalam pergaulan mereka. Anak-anak hanya dituntut untuk saling menghormati tapi tak diberitahu secara praktis bagaimana saling menghormati itu diwujudkan dengan sebaiknya.

Alhasil, pelajaran keragaman berstandar ganda tersebut hanya memupuk sikap saling curiga. Ketika kelompok minoritas Kristen di satu daerah membangun gereja di daerah yang bermayoritas agama lain sudah dicurigai sebagai upaya kristenisasi di daerah tersebut, begitu pula sebaliknya. Sentimen negatif keagamaan ini kerap terjadi di berbagai daerah sehingga memicu semangat anti agama lain di daerah yang bersangkutan. Fakta ini secara kasat mata bisa terlihat seperti kasus pembangunan GKI Yasmin di Bogor. Begitu pula ketika satu etnis dari kelompok minoritas menguasai perekonomian di daerah yang bermayoritas etnis lain, seringkali memicu kecemburuan sosial di daerah tersebut meski itu hasil kerja keras dari kelompok minoritas. Fakta ini bisa dilihat ketika konflik Sampit terjadi. Konflik berdarah ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura di daerah Sampit - Kalimantan. Namun banyak versi yang menjelaskan tentang latar belakang terjadinya konflik etnis di Sampit tersebut.

Belajar tentang keragaman bisa disaksikan dalam kisah "Upin dan Ipin". Film animasi buatan Malaysia itu mampu mengajarkan tentang keberagaman tanpa harus menggurui. Dalam kisah itu, Ipin dan Upin punya sahabat yang bernama Mei Mei, Jarjit, Devi, dan Susanti. Mei Mei mewakili etnis Cina, Jarjit dan Devi mewakili etnis India, dan Susanti berasal dari Indonesia. Semua karakter menggunakan atribut etnis masing-masing, baik logat bahasa dan budaya etnis masing-masing. Mereka menjadi diri mereka sendiri dengan kekhasan etnis dan agamanya. Masing-masing karakter tak saling meremehkan dan tak saling mendominasi. Perbedaan yang mereka miliki bukan dijadikan sebagai bahan olok-olok seperti yang sering diperlihatkan dalam lawakan di tayangan televisi atau film kita. Dalam kisah "Upin dan Ipin", konflik di antara mereka juga diperlihatkan tapi selalu diakhiri dengan jalan damai dan solusi.

Keragaman suku bangsa dan agama dalam "Upin dan Ipin" disajikan secara natural dan ditunjukkan sebagai hal yang harus dihormati dan secara nyata ada dalam kehidupan pergaulan Upin dan Ipin. Bagaimana keragaman itu diperlakukan, ada Bu Guru atau Cikgu Jasmin, Opah, dan Tok Dalang yang menjadi sumber inspirasi. Kisah Upin dan Ipin tak hanya baik buat anak-anak tapi baik juga buat orang dewasa, terutama untuk menuntun anak-anak bagaimana keragaman itu harus diperlakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline