Lihat ke Halaman Asli

Abdi Husairi Nasution

TERVERIFIKASI

Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Penyesalan Warga Tuban

Diperbarui: 25 Januari 2022   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada berita menarik di Kompas online hari ini (25/01/2022), sejumlah warga di sekitar proyek strategis nasional pembangunan kilang minyak yang dulu dikenal dengan kampung miliarder di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, mengaku menyesal telah menjual lahannya. 

Baca berita itu mengernyitkan kening saya. "Lho, kok menyesal, bukannya mereka harusnya hidup senang saat ini", begitu kata batin saya. Bukan apa-apa, mereka dapat uang gusuran dari Pertamina sampai belasan miliar pada masa itu. Uang gusuran itu bukannya sedikit, kalau disimpan di bank, didepositokan, mereka bisa mendapat bunga bulanan yang tak sedikit. Bahkan kalau mereka investasikan di reksadana pendapatan tetap, untungnya bisa sampai 20 persen atau lebih.

Malah waktu itu saya sampai menghitung dengan kalkulator sendiri, kalau satu miliar mereka depositokan ke bank BUMN atau bank swasta ternama, dengan bunga atau bagi hasil sekitar 4-7 persen, mereka bisa mendapatkan 40-70 juta rupiah per tahun, sebulan mereka bisa mendapatkan 3-5 jutaan per bulan tanpa harus bekerja atau usaha lainnya.  Itu baru satu miliar, kalau 2-10 miliar, bisa 80-700 juta per tahun, sebulan bisa 7-58 jutaan.

Bahkan di antara warga setempat, ada yang mendapatkan uang gusuran sampai puluhan miliar, Kalau hanya sekadar untuk makan, itu lebih dari cukup, malah mereka bisa hidup berlebihan atau mewah tanpa bekerja apa-apa. Okelah sebagian digunakan untuk membeli rumah dan lahan, bayar hutang, dan lain-lain, sisanya mungkin masih cukup untuk biaya sekolah dan kebutuhan non primer lainnya. Yang saya tahu, rumah dan lahan di daerah Tuban pasti tak semahal di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. 

Warga Tuban yang tiba-tiba kaya mendadak itu pun menjadi viral saat itu, bukan karena nilai nominalnya yang buat ngiri warga daerah lain, tapi karena mereka borong mobil begitu banyak, bahkan yang belum bisa nyetir pun tak mau ketinggalan. Mobil yang dibeli pun bukan tergolong yang murahan, tapi mobil kelas 1500 cc ke atas, yang harganya di atas 200juta. 

Saya sempat dibuat dongkol juga oleh ulah beberapa warga Tuban tersebut, kenapa mobil! Tapi itulah keputusan mereka, uang miliaran di tangan (mungkin) membuat mereka bingung, mau diapain uang sebanyak itu, yang terpikirkan (mungkin) cuma mobil. Kalaupun pengen mobil, kenapa harus mobil yang semahal itu, yang saya tahu biaya perawatannya tak murah. Tapi ya sudahlah, itu uang mereka. Demikianlah kedongkolan saya waktu itu, yang akhirnya buat saya tersenyum liat ulah mereka.

Dan akhirnya, penyesalan itu pun datang, uang miliaran di genggaman kalau tak dimanfaatkan dengan baik akan habis juga. Menurut berita di Kompas itu, ada warga yang terpaksa menjual beberapa ekor hewan peliharaannya seperti sapi demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

 Ada yang menyesal juga menjual lahan pertaniannya karena kehilangan omzet dari hasil pertaniannya hingga puluhan juta rupiah per bulan. Padahal selain didepositokan, uang miliran bisa digunakan buat investasi lainnya, seperti beli lahan pertanian yang bisa dibuat usaha pertanian, bangun rumah kontrakan, beli reksadana, dan instrumen investasi lainnya. Kalau investasi itu mereka jalankan, penyesalan itu (pasti) tak akan ada.

Ketidaktahuan warga soal investasi mungkin bisa dimaklumi, seharusnya pihak eksekutor dalam hal ini Pertamina memberi edukasi pada warga tentang pemanfaatan dana yang mereka terima agar tak membuat sengsara dan lepas kendali. 

Edukasi mengenai investasi itu penting agar warga tak membuang dananya untuk hal-hal yang absurd dan tidak penting. Kalau itu dilakukan, penyesalan warga Tuban itu tentu tak akan muncul saat ini. Seperti kata-kata orang tua dulu, penyesalan selalu datang terlambat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline