Jumat pagi tadi (20/10/2017), Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih berlari dari rumahnya di Jalan Pulobangkeng menuju kawasan Monas, kantornya di Balai Kota (Kompas.com-20/10/2017). Ini merupakan janji Sandi yang akan berlari dari rumahnya ke Balai Kota setiap satu kali dalam sepekan setelah dia resmi berkantor di sana (Kompas.com - 23/07/2017.
Beberapa hari sebelumnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menaiki bus Transjakarta koridor 6 rute Dukuh Atas-Ragunan, Selasa (17/10/2017). Keduanya naik pada jam-jam sibuk sore hari. Akibatnya, macet pun tidak dapat dihindarkan. Tujuan keduanya adalah Halte Mampang Prapatan untuk meninjau proyek underpass di sana. Setelah bermacet ria dengan bus Transjakarta, Anies dan Sandiaga memilih untuk menerobos arus lalu lintas Mampang menggunakan sepeda motor. Lagi-lagi Anies dan Sandiaga menggunakan satu kendaraan bersama-sama. Kali ini, Anies membonceng Sandiaga dengan sepeda motor. Anies dan Sandi pun membiarkan beberapa warga mendekat untuk bersalaman dengannya. Setelah itu, Anies dan Sandi kembali melaju menerobos kemacetan Mampang (Kompas.com - 17/10/2017).
Sebagai pejabat publik ataupun pejabat negara, sebenarnya mereka bisa memilih menaiki kendaraan dinas dengan patwal (Patroli dan Pengawalan) khusus untuk menghindari kemacetan ibukota. Namun, itu tidak mereka lakukan, mereka tampaknya ingin memberi gambaran atau citra ke masyarakat bahwa pejabat negara tak perlu diisimewakan, karena mereka memposisikan dirinya sebagai pelayan atau pengabdi masyarakat. Mereka juga ingin memberikan pembelajaran pada masyarakat agar (selalu) menggunakan transportasi umum untuk mengurangi kepadatan kendaraan di jalan raya Jakarta yang semakin macet.
Demikian pula Jokowi, saat menjabat sebagai Gubernur DKI, hal pertama dilakukannya adalah blusukan, bahkan Jokowi dikenal sebagai gubernur yang gemar blusukan atau turun ke lapangan untuk melihat langsung kondisi yang dilaporkan kepadanya. Kondisi yang kerap ditinjaunya langsung antara lain adalah normalisasi waduk, sungai, hingga penggunaan Bandara Halim Perdanakusumah sebagai bandara komersil (Tempo.co - 13 Januari 2014). Kegiatan blusukan Jokowi ini terus berlangsung ketika dia menjadi Presiden.
Sembilan hari setelah dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014, Jokowi menyambangi Kabupaten Karo di Sumatera Utara. Sampai saat ini sudah 520 acara yang disambanginya selama 1.095 hari menjadi Presiden. Jokowi mengungkapkan, alasannya rajin blusukan yaitu ingin memastikan sekaligus mengontrol jalannya proyek-proyek strategis nasional yang dijalankan di daerah, sekaligus mencari solusi bila terjadi hambatan (Kompas.com - 20/10/2017).
Begitu pula dengan Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok, saat mendampingi Jokowi sebagai Wakil Gubernur DKI ikut blusukan ke pelosok Jakarta. Bahkan saat menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI, Ahok pun membuka pintu lebar-lebar kantor Balai Kota untuk tempat pengaduan masyarakat yang punya masalah. Setiap pagi sebelum menjalankan aktivitasnya, Ahok menerima pengaduan masyarakat dari berbagai kalangan di depan kantornya, Balai Kota. Sebelum kedatangan Ahok, banyak warga yang sudah menunggu gubernur fenomenal itu untuk menampung masalah dan keluh kesah mereka. Mulai dari masalah yang tampak sepele hingga masalah yang berat. Ahok melayani curhatan mereka dengan penuh antusias dengan gaya yang spontan dan blak-blakan. Satu dua masalah yang ringan langsung diselesaikan saat itu juga.
Apakah aksi mereka hanya bentuk pencitraan belaka? Atau adanya perubahan paradigma kalau penguasa zaman NOW (mengutip istilah anak gaul sekarang) semakin membumi (down to earth) yang tidak ada lagi jarak antara penguasa dengan rakyatnya. Rakyat bisa menyapa sang penguasa dan berinteraksi langsung, bersentuhan secara fisik tanpa ada batasan seperti zaman old, zaman dulu, ketika orde baru berkuasa. Aturan protokoler pun ditabrak, apalagi yang membatasi jarak antara penguasa dan rakyat.
Banyak yang menganggap kalau aksi-aksi mereka hanya berupa pencitraan semata namun miskin realisasi. Mereka dianggap hanya ingin meraih simpati rakyat agar bisa terpilih kembali. Ada juga yang memuji, kalau mereka, para penguasa semakin membumi, semakin mendekatkan diri pada masyarakat, seolah mereka sebagai tempat pengaduan dan pelayan masyarakat. Anggapan positif dan negatif itu wajar adanya, apalagi dalam pertarungan politik dan perebutan simpati masyarakat.
Dalam public relations, pencitraan itu masih dianggap penting untuk meningkatkan bargaining atau posisi tawar suatu produk, perusahaan, ataupun lembaga. Public relations merupakan sebuah fungsi manajemen komunikasi dalam perusahaan yang bertugas membangun dan mempertahankan hubungan baik antara perusahaan dan khalayak maupun perusahaan kepada karyawannya sehingga menghasilkan kerjasama yang lebih produktif yang bersifat berkesinambungan dan terencana guna membentuk citra produk, perusahaan, maupun lembaga.
Kalau di bidang pemerintahan dan dunia politik, pencitraan kurang lebih memiliki fungsi yang sama dengan public relations sebagai fungsi manajemen komunikasi. Tak ada yang salah dengan pencitraan selama itu bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan. Apalagi kalau pencitraan yang mereka bangun menunjukkan sikap dan perilaku penguasa yang makin membumi, makin dekat dengan rakyat tanpa sekat, yang membuat mereka lebih ramah pada masyarakat, dan sadar kalau mereka itu pelayan masyarakat.
Malah saya anggap aneh, kalau ada pejabat publik yang anti pencitraan, padahal segala tindak tanduknya pun penuh pencitraan juga, entah dia sadar atau tidak, tapi publik bisa menilainya sendiri.