[caption id="attachment_268263" align="aligncenter" width="560" caption="Sumber: malesbanget.com"][/caption] Seseorang yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di daerah lain dapat disebut merantau atau perantau. Merantau dalam cerita-cerita silat komik klasik selalu digambarkan sebagai seorang pendekar yang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu silat yang mumpuni ataupun mencari kesaktian. Ciri khas pendekar dalam komik-komik silat klasik tersebut antara lain membawa buntelan kain yang berisi pakaian dan makanan, kemudian diikatkan dengan sepotong kayu yang bisa dipanggul di bahu kanan atau kiri. Itulah ciri khas perantau dalam cerita silat komik klasik. Sebagai seorang perantau juga, saya tak harus berpenampilan seperti pendekar dalam cerita komik silat tersebut, apalagi di zaman Android ini, entar bisa disangka orang edan atau orang sinting lagi. Saat pertama kali merantau ke Jakarta, saya cuma membawa sedikit uang pemberian Emak dan satu tas kecil berisi pakaian sehari-hari. Dengan menumpang bus ALS (Antar Lintas Sumatera) kelas ekonomi seharga 75ribu, saya pun meninggalkan Kota Medan menuju Jakarta. Perjalanan ditempuh selama 3 hari-2 malam, cukup lama, hingga membuat bokong ini lecet karena terlalu lama duduk di atas jok bus tersebut. Namun demi mengubah nasib di Jakarta semua itu harus saya lakoni. Sebenarnya, kedatangan saya di Jakarta hanya kebetulan, dan tak pernah berniat untuk tinggal di Jakarta. Prinsipnya waktu itu “Medan is still the best than Jakarta”, hanya keinginan melihat Jakarta secara langsung saja yang pernah terlintas dalam angan-angan saat masih sekolah di Medan dulu. Kalau untuk bekerja di Jakarta rasanya tidak mungkin karena saya harus bersaing dengan lulusan-lulusan dari berbagai perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa, yang ngetop dan wahid. Meski demikian, keinginan untuk bekerja di ibukota Negara tersebut masih tetap ada. Menurut angan saya dulu itu, rasanya keren bisa kerja di Jakarta, apalagi beberapa teman kuliah dulu ada yang sudah bekerja di Jakarta, dan kelihatannya sukses. Itulah angan-angan yang selalu menghinggapi para perantau seperti saya, mengadu nasib di ibukota dan berharap jadi "orang". Keinginan itu akhirnya kesampaian juga sekitar 15 tahun yang lalu. Saat itu, sekitar bulan November 1998, saya menerima panggilan test dari (alm) Bank Bali. Pucuk dicinta ulam pun tiba, demikian kata pepatah, awalnya cukup pesimis bisa berangkat memenuhi panggilan test tersebut, biasalah keuangan orang tua yang sangat pas-pasan. Namun Emak tak mematahkan semangat, dia mendorong saya untuk pergi. Katanya, “Kesempatan takkan datang dua kali, masalah biaya bisa diusahakan”. Akhirnya, saya pun berangkat diiringi doa tulus dari Emak. Sepanjang perjalanan, saya membayangkan wajah Jakarta yang sebenarnya, apakah seperti yang sering saya saksikan di TV, atau malah sebaliknya. Sambil senyum-senyum sendiri, ada rasa khawatir juga, gelisah, campur aduk jadi satu. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan melelahkan, sampailah saya di Jakarta, hari senin sekitar pukul satu dinihari. Dari terminal bis ALS di Tangerang, kami diangkut dengan mobil pengumpan bis tersebut untuk memasuki pusat kota Jakarta. Gedung bertingkat yang pertama kali saya lihat di pagi dinihari itu antara lain, Mal Citra, Hotel Citra, Universitas Tarumanegara, dan Trisakti di daerah Grogol. Mobil pengumpan itu pun menembus pusat kota demi mengantar para penumpang ke tempat tujuannya masing-masing. Suasana jalanan sepi cuma ditemani benderangnya lampu-lampu di jalan. Tujuan saya daerah Condet, tempat tinggal adik perempuan Emak, seorang penulis dan seniman. Seminggu menjelang tes masuk (alm) Bank Bali berlangsung, kerusuhan Trisakti meletus. Jadwal tes pun ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut. Seminggu di Jakarta, pemberitahuan jadwal pasti tes yang tertunda pun datang. Tes akan diselenggarakan awal Desember, berarti saya harus menunggu sekitar satu bulan lamanya. Agar tak merasa menyusahkan adik perempuan Emak, saya pun ingin pamit pulang, tapi dicegah. Alasannya, buang-buang duit kalau nanti saya balik lagi. Saya disarankan untuk tetap tinggal di Jakarta sambil menunggu test tersebut. Hari tes yang ditunggu pun akhirnya datang juga, dan saya harus bersaing dengan lulusan-lulusan lainnya. Tes pun selesai dan saya pesimis kalau bisa lulus. Dan ternyata benar, saya tak lulus dengan gemilang. Saya pun siap-siap hengkang dari Jakarta. Di luar dugaan, suami adik perempuan Emak itu menahan saya, katanya, “Ngapain kamu balik lagi ke Medan, cari kerja di sini saja, jurusanmu lebih gampang diterima di ibukota”. Saya melirik ke arah adik perempuan Ibu, untuk minta persetujuannya, hati ini pun serba tak karuan meski senang juga. Selama di Jakarta itu, saya banyak melayangkan surat lamaran ke berbagai media di Jakarta dan berbagai bidang pekerjaan lainnya, yang penting bisa bekerja di rimba ibukota. Tak enak juga jadi pengangguran dan menumpang hidup pada orang lain, seperti parasit jadinya. Bahkan saya pernah test di tempat yang sama sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda: pertama di Gramedia group; kedua, tes penulis advertorial di harian Kompas, dan ketiga tes wartawan di harian Warta Kota, semuanya di gedung yang sama, di Palmerah. Namun, semuanya gagal total. Setahun kemudian saya mendapat panggilan dari sebuah penerbit yang sangat populer di kalangan pelajar dan guru-guru di Jakarta. Tanpa tes yang rumit dan melelahkan, saya pun diterima di kelompok penerbit tersebut sebagai editor. Kini, saya sudah menjadi warga Jakarta, punya pekerjaan tetap, punya istri yang manis dan cerdas - orang Betawi, dan seorang anak laki-laki yang lucu dan menggemaskan. Apakah itu membanggakan saya? Jawabnya relatif, bisa ya, bisa tidak, tergantung dari sudut mana memandangnya. Kalau bangga, itu sudah pasti, karena saya punya pekerjaan yang saya sukai dan dianugerahi keluarga yang baik dan sempurna. Kalau jawabnya tidak, bukan karena saya tak bisa menjadi golongan orang-orang kaya di Jakarta, sukses, dan terkenal seperti mereka, tapi lebih disebabkan karena saya tak bisa pulang ke Medan sesering mungkin untuk menjenguk Emak yang sudah tua. Bahkan saya pernah tak pulang hingga sewindu, baru Lebaran tahun kemarin saya bisa pulang. Bukan karena tak sempat, tapi karena ongkosnya mahal, sedang dana yang ada habis untuk bayar cicilan, pinjaman kantor, kartu kredit, dan keperluan lainnya. Demikianlah hasil dari merantau, dan itu pantas disyukuri, karena banyak perantau-perantau dari daerah yang tak seberuntung saya. Amin.