Lihat ke Halaman Asli

Abdi Husairi Nasution

TERVERIFIKASI

Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

The Artist, Film Bisu Terbaik di Era Facebook

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1330326460548577480

Di era Facebook ini, menjadi film terbaik itu tak harus memiliki dialog yang bagus dan cerdas, tak memiliki dialog pun oke-oke saja. Sebuah film juga tak perlu memiliki gambar-gambar yang penuh warna dan menawan. Semua persyaratan itu menjadi tak penting ketika film bisu atau film tanpa dialog "The Artist" berhasil dinobatkan sebagai film terbaik atau "The Best Picture" di ajang Academy Awards ke-84 tahun ini. Film garapan Michel Hazanavicius itu tak hanya bisu atau tanpa dialog, tapi juga tanpa warna. Bagi Anda yang suka warna-warni yang indah, jangan pernah berharap Anda melihat aneka warna di film tersebut. Dari awal hingga akhir Anda cuma akan disuguhi warna hitam putih, sesuai dengan setting waktu yang ditampilkan dalam film itu, tahun 20-an. Bagi Anda yang tak terbiasa dengan model  film era Charlie Chaplin itu, saya sarankan jangan menonton film "The Artist" daripada keceewa, kecuali kalau Anda penikmat film sejati dan pencinta film dalam artian artistik serta suka mengandalkan kekuatan cerita. Agaknya, kedua faktor terakhirlah yang menjadi pertimbangan dewan juri Academy Awards ke-84 tahun 2012 ini, yaitu aspek artistik (seni) dan kekuatan cerita, yang meloloskan "The Artist" menjadi film terbaik. Padahal, saingan "The artist" di deretan nominasi "The Best Picture" bukanlah film-film sembarangan. Ada film  The Descendants, Extremely Loud and Incredibly Close, The Help, Hugo, Midnight in Paris, Moneyball, The Tree of Life, dan  War Horse. Dari sembilan nominator film terbaik tersebut, saya sudah menonton delapan diantaranya. Masing-masing punya kekuatan cerita sendiri-sendiri dan unik. Untuk keputusan juri Oscar tahun ini saya cukup sependapat. "The Artist" dalam kebisuan dialognya berhasil membuat saya tetap terpaku di kursi dan menimbulkan rasa ingin tahu cerita selanjutnya dan tidak membuat saya bosan. Ada rasa ingin tahu yang muncul di setiap adegannya. Paduan akting aktor dan aktrisnya pun sangat baik, walau tanpa dialog namun berhasil membuat saya tersenyum melihat bahasa dan gerak tubuh mereka. Saya akui, tentu sulit berperan dalam adegan film tanpa dialog. Jadi tak heran kalau Jean Dujardin menjadi aktor terbaik atau "The Best Actor In a Leading Role" di ajang Oscar 2012 ini. Dia mampu mengalahkan George Clooney, Brad Pitt, Gary Oldman, dan Demián Bichir. Jean Dujardin sendiri dapat disebuat sebagai seorang master komedi fisik. Seperti halnya film-film di era Charlie Chaplin dahulu, biar penonton tak bingung  ketika menonton "The Artist", dialog-dialog yang penting ditampilkan melalui penggunaan signage atau kalimat-kalimat yang muncul dan bisa dibaca penonton, sehingga penonton tetap bisa memahami dialog yang disampaikan. "The Artist" juga berhasil membangkitkan memori bagi pecinta film jadul atau film hitam putih. Bagi saya sendiri, menonton "The Artist" membuat saya merasa hidup di era tahun 20-an, dan itu sungguh menarik. Saya pun tak sendiri berpendapat demikian. Bahkan ada yang menyebut "The Artist" sebagai sebuah kebisuan yang mempesona. Pesona "The Artist" telah membuat para juri Oscar untuk menobatkannya menjadi film terbaik. The Artist juga memenangkan “The Best Costume Design”, “The Best Music (Original Score)”, dan "The Best Directing" untuk Michel Hazanavicius sang sutradara. Bravo. Sumber gambar: http://oscar.go.com/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline