Lihat ke Halaman Asli

Abdi Husairi Nasution

TERVERIFIKASI

Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

[IMLEK] Nian dan Legenda Imlek

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Sejak itu, penduduk desa selalu menghiasi penjuru desa dengan warna merah, menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Bahkan, kembang api pun dinyalakan agar Nian tak kembali lagi."

Musim dingin akan segera berakhir, bunga-bunga akan kembali bermekaran dan menghiasi punggung bukit di dekat rumahku. Suasananya akan semakin indah dan romantis. Penderitaan selama musim dingin akan segera berakhir. Memang, musim dingin tahun ini sungguh ekstrim. Aku harus menyiapkan banyak bahan makanan yang cukup dan berbagai perlengkapan untuk mengusir rasa dingin yang menusuk kulit. Baju hangat yang tebal, perapian yang harus tetap nyala, dan kayu bakar yang tetap tersedia untuk perapian. Tak terbayangkan kalau semua itu tak disiapkan, musim dingin akan dilalui dengan banyak penderitaan.

Sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, cuaca tak sedingin tahun ini. "Apakah ini bencana untuk umat manusia? Hmmm entahlah," gumamku dalam hati. Namun, pertanyaan itu tak terjawab, seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku pun harus bergegas ke dapur, menyiapkan makanan untuk Nian. Setiap akhir musim dingin di awal tahun baru, aku dan penduduk desa lainnya harus menyediakan makanan buat Nian. Nian akan marah besar kalau makanannya tak tersedia. Dia selalu lapar. Kalau tak ada makanan yang disediakan, Nian akan memakan ternak, hasil panen, bahkan manusia. Aku selalu bergidik kalau mengingat Nian memangsa manusia. Anehnya, aku tak bergidik kalau bertemu kuntilanak yang menghuni pohon randu di belakang rumahku.

Dengan langkah tergopoh-gopoh, aku bergegas ke dapur. Waktu demikian cepatnya, sebentar lagi matahari terbenam, dan tahun baru pun tiba. Nian akan segera muncul. Syukurlah, makanan untuk Nian selesai, tanpa buang waktu, makanan itu langsung kutaruh di depan pintu rumah. Aku dan penduduk desa berharap Nian, si raksasa buas itu akan memakan makanan yang telah disiapkan sehingga  tidak akan menyerang desaku. Pintu rumah langsung kututup, matahari sudah tak menampakkan dirinya lagi.

Di peraduan, aku menunggu kedatangan Nian dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara melengking dari luar rumah. Suaranya begitu keras terdengar sehingga memekakkan telingaku. Aku intip keluar lewat jendela. Kulihat Nian lari tunggang langgang sambil teriak-teriak ketakutan. Nian lari menuju pegunungan. Tak jauh dari tempat Nian berdiri tadi, kulihat seorang anak kecil mengenakan pakaian berwarna merah. Ternyata Nian takut sama warna merah.

Sejak itu, penduduk desa selalu menghiasi penjuru desa dengan warna merah, menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Bahkan, kembang api pun dinyalakan agar Nian tak kembali lagi. Dan itu memang berhasil. Nian tak pernah kembali. Namun, beberapa waktu kemudian, terdengar kabar, Nian berhasil ditangkap oleh Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao. Nian kemudian dijadikan kendaraan Honjun Laozu.

Adat pengusiran Nian terus berkembang hingga kutiada, dan menjadi perayaan Tahun Baru Imlek, hingga kini.

****




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline