Lihat ke Halaman Asli

Abdi Husairi Nasution

TERVERIFIKASI

Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Filosofi Air

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1292566815361416679

Sewaktu kecil, saya sangat senang main air. Gara-gara sering main air di kamar mandi, Ma'e (sebutan untuk ibu saya) sering marah-marah pada saya. Sebenarnya kemarahannya itu cuma wujud dari kekhawatiran dirinya pada kesehatan saya. Maklum saja, kalau anak-anak banyak di air pasti bisa sakit, bisa demam, dan masuk angin, termasuk saya juga. Kalau sudah masuk angin, biasanya saya suka mencret-mencret. Itulah yang dikhawatirkan Ma'e. Meski begitu, kecintaan saya pada air tetap tak terbendung. Larangan Ma'e bukanlah penghalang, saya tetap menyeburkan diri dalam air. Rasanya senang kalau dekat dengan air dan bersatu dengan air.

Waktu kecil itu, banyak hal yang saya lakukan pada air. Ketika di kamar mandi, kadang saya suka menampar-nampar kedua telapak tangan saya pada permukaan air, di sebuah ember besar. Saya lakukan itu dengan irama di mulut, seperti sebuah gendang yang bertalu-talu meski suaranya tak sama dengan gendang. Rasanya senang mendengar suara gendangan telapak tangan di atas permukaan air tersebut. Tak hanya itu, kadang saya juga suka membenamkan kepala saya ke dalam air di ember besar tersebut. Dalam khayalan saya kala itu, saya berharap akan berubah menjadi seorang manusia ikan, seperti dalam cerita film yang saya tonton di TVRI tahun 80-an dulu, judulnya "The Man from Atlantis" dan serial komik "Deni Si Manusia Ikan" yang secara rutin dimuat di majalah Bobo setiap minggunya. Saya selalu membayangkan, kalau membenamkan kepala ke dalam air dalam waktu tertentu maka akan tumbuh selaput-selaput di antara jari-jari tangan dan kaki saya. Kalau sudah begitu, tentu saya akan bisa berenang seperti ikan, bisa menyelam secepat ikan, dan bernapas dalam air seperti ikan. Sekitar 2 menit kemudian, kepala langsung saya angkat dari dalam air itu. Kemudian, saya amati setiap sela jari tangan dan kaki dengan penuh harap, batin saya berkata, "Sudah tumbuhkah selaput-selaput itu?". Nyatanya, selaput di sela jari tangan dan kaki saya itu tak pernah tumbuh seperti halnya "Deni si Manusia Ikan". Malah saya makin terobsesi dengan air. Setiap mandi pasti saya melakukan hal yang sama, membenamkan kepala dalam air di ember beberapa saat, dan mengangkatnya kembali, demikian seterusnya. Perbuatan itu saya lakukan hingga kelas 6 SD. Setelah saya percaya bahwa selaput di sela jari saya tak akan pernah tumbuh dan tak mungkin tumbuh, it's just my dreamin', itu cuma khayalan semata, saya pun menghentikan perbuatan tersebut. Meski kecewa tak berarti saya membenci air. Saya tetap mencintai air.

Air tak hanya buat saya dahaga tapi juga bahagia. Saya selalu meniru sifat air. Air selalu menyesuaikan bentuk di manapun dia berada,  tergantung bentuk wadah yang dia tempati. Kalau air berada dalam gelas, dia akan mengikuti bentuk gelas. Kalau dia ditempati dalam sebuah botol, maka dia akan berbentuk botol.  Saya selalu menempatkan diri seperti air. Kalau saya berada dalam lingkungan masyarakat berbeda, saya akan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai mereka. Memang sudah seharusnya begitu kalau mau hidup damai. Air selalu bisa berdamai dengan bentuk apa saja, kenapa kita tidak.

Sumber foto: http://la1992business.files.wordpress.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline