Lihat ke Halaman Asli

Abdi Husairi Nasution

TERVERIFIKASI

Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Nikah Yuk!

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_273105" align="alignright" width="300" caption="Sumber gambar: http://lh4.ggpht.com"][/caption]

"Nikah yuk!", itu ajakan pacar saya dulu ketika belum jadi istri. Ajakan yang simpel tapi perlu pemikiran mendalam dan panjang. Kaget, sudah pasti. Apalagi yang ngajak pacar, seharusnya sebagai lelaki saya yang punya inisiatif waktu itu. Entah kenapa, dia punya inisiatif duluan. Alasannya, "Kapan lagi? Mau dua tahun atau empat tahun lagi (sesuai rencana dan target saya) sama saja. Yang namanya nikah pasti harus dijalani, kecuali Abang gak niat nikah." Dicecar pernyataan demikian, kalang kabut juga. Namun, pikir punya pikir, kok benar juga.

Ada banyak alasan kenapa waktu itu saya belum siap nikah. Pertama, urusan finansial dan materi. Waktu itu saya tak cukup finansial untuk nikah, apalagi materi. Rumah tinggal dan segala pernak-pernik kerumahtanggaan belum saya miliki. Khawatir nantinya tinggal di PIM alias Pondok Indah Mertua. Kedua, saya belum merasa puas menikmati masa lajang, meski seharusnya sudah cukup, apalagi usia saya waktu itu sudah menginjak kepala tiga. Tapi entah kenapa, rasa puas itu tak pernah tercukupkan. Ketiga, hidup bebas dan tak terkekang pasti tak akan didapat lagi ketika berumah tangga. Prinsipnya, orang yang berani berumah tangga berarti orang-orang yang sudah siap lahir-bathin kehilangan kebebasannya sebesar 50%. Keempat, ada rasa ketakutan dalam diri apakah bisa menjadi orang tua yang baik dan jadi panutan. Kelima, saya takut tak bisa bantu orang tua lagi bila sudah menikah. Dan terakhir, saya belum puas menikmati penghasilan sendiri. Itulah enam alasan pokok kenapa saya ragu untuk menikah waktu itu.

Meski akhirnya saya mengiyakan ajakan sang pacar bukan berarti saya sudah siap secara mental, apalagi enam alasan tadi belum mampu saya atasi. Ajakan menikah itu saya iyakan lebih disebabkan karena kesiapan mental pacar saya yang kuat. Dia rela menanggung segala risiko atas ketidaksiapan saya. Bagi dia, rezeki bisa dicari bersama, semua dimulai dari "nol" asal berusaha.

Kini, sudah tujuh tahun hidup berumah tangga. Semua kekhawatiran cuma ketakutan tak berdasar. Semua berjalan normal. Datangnya rezeki bisa darimana saja. Konflik pasti ada, yang penting bisa saling menahan diri dan menjaga perasaan. Sayangnya, ada rasa penyesalan dalam diri, kenapa putusan nikah itu tak dilakukan sedini mungkin. Namun, itulah jalannya. Kesiapan mental baru muncul ketika saya berusia 32 tahun, bila dipaksakan lebih muda lagi, mungkin akan berjalan lain, bisa lebih buruk atau lebih baik. Hanya Tuhanlah yang tahu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline