Tulisan di bawah ini telah saya posting di blog pribadi saya pada hari selasa (30/8/ 2011), namun baru sempat saya "kirim" kembali ke Kompasiana hari ini (2/9/2011). Rencananya saat itu langsung saya posting ke dua blog saya yakni www.abahguru.com dan kompasiana sekaligus, namun karena keterbatasan waktu dan kesibukan memasuki Idul Fitri yang ke kompasiana agak terbelakang waktunya. Semoga nggak basi-basi amat.
Jika saya ikut berkeyakinan bahwa Idul Fitri jatuh pada hari selasa 30 Agustus 2011, bukan karena saya mengikut Muhammadiyah yang menetapkan berdasarkan hisab. Saya termasuk yang mengikuti pendapat mayoritas ulama Ahlussunnah yang menentukan awal dan akhir Ramadhan dengan metode rukyatul hilal (melihat bulan). Adapun terjadinya kesamaan waktu dengan Muhammadiyah hanya semata karena dilihatnya Hilal oleh beberapa kaum muslimin di beberapa tempat di Indonesia.
Belum lagi jika dibandingkan dengan penetapan Idul Fitri yang dilakukan di beberapa Negara tetangga yang secara geografis tak jauh berbeda, bahkan sama dengan wilayah kita. Apalagi jika kita melihat negara-negara Arab. Sekedar untuk diketahui, di negara-negara Arab seperti Saudi Arabia, Mesir, Kuwait, Lebanon, Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania dan Suriah mengumumkan 1 Syawwal 1432 H adalah Selasa, 30 Agustus 2011. (http://www.marawanews.com/liputan/di-mesir-1-syawal-pada-selasa-pemerintah-ri-menetapkan-rabu)
Menentukan awal dan akhir Ramadhan haruslah dilakukan dengan rkyatul hilal (melihat bulan) sebagaimana yang dilakukan jaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam. “Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berhari rayalah kalian karena melihatnya.” (HR. Muslim)
Sedangkan jika taka da yang melihat bulan, maka disempurnakanlah Ramadhan menjadi 30 hari sebaaimana sabda Beliau: “Jika mendung telah menghalangi kalian, maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan Sya’ban.” (HR. Muslim)
Jadi yang menjadi ukuran adalah terlihatnya hilal, bukan perhitungan (hisab). Meskipun hisab menyatakan telah masuk syawal, namun jika hilal belum terlihat tetap tak bisa diterima. Demikian pula sebaliknya.
Dalam Al-qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan), maka hendaknya dia berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [02]: 185)
Dalam kitab Bulughul Maram disebutkan: Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka berpuasa.” (Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sesang Nasa’i menilainya mursal).
Hadits tersebut sangat jelas menceritakan bahwa Rasulullah hanya meminta seorang Arab Badui tersebut untuk mengucap syahadat. Beliau tidak mensyaratkan bahwa si Badui haruslah seorang yang ahli astronomi, mengerti perhitungan derajat posisi hilal dan lain sebagainya yang serba njlimet. Karena inti dari rukyah adalah terlihatnya hilal.
Kesaksian beberapa pemantau hilal, meskipun (konon) bukan dari lembaga resmi semestinya dijadikan masukan bagi pemerintah. Kenyataan bahwa lebih dari 90 titik pengamatan tak melihat hilal tak bisa dijadikan alasan untuk menolak persaksian seorang muslim. Apalagi ini lebih dari 3 orang dengan di bawah sumpah pula. Jika kita kembalikan ke hadits Nabi tadi, jelas bahwa pada saat si Badui melihat hilal, para sahabat Nabi yang lain juga memantau hilal, karena saat itu semua kaum muslimin menggunakan rukyah untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan. Sehingga meskipun banyak sahabat tidak melihat maka tetap penglihatan seorang Badui yang dipakai oleh Rasulullah.
Ada seorang kawan yang mengatakan bahwa yang 90 orang lebih (petugas pemantau) itu lebih mutawatir daripada yang 3 orang. Ini jelas kekeliruan pemikiran dalam persoalan fiqih. Dalam konteks ini (rukyah) Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan rukyah tidak untuk kemudian mempertentangkan antara yang melihat dan yang tidak melihat, sangat tidak pada tempatnya jika jumlah dijadikan alasan untuk membatalkan penglihatan seseorang (apalagi ini 3 orang).