Gelombang panas ekstrem yang terjadi di Asia akhir-akhir ini menunjukkan adanya dampak serius terhadap ketimpangan gender dan lingkungan di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat di Asia untuk memberikan perhatian lebih serius terhadap isu feminisme ekologi sebagai solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan ketimpangan gender.
Gelombang panas yang terjadi di Asia dalam beberapa tahun terakhir sangat mempengaruhi kehidupan manusia dan lingkungan. Dalam beberapa kasus, suhu ekstrem dapat mencapai 50 derajat Celsius dan mengakibatkan banyak kematian di wilayah tersebut. Meskipun gelombang panas memengaruhi semua orang, namun dampaknya terasa lebih parah pada wanita dan anak perempuan, terutama di daerah perkotaan yang padat penduduk.
Faktanya, ketimpangan gender di Asia semakin memperparah dampak gelombang panas. Menurut Yadav & Lal (2018) ketimpangan gender di Asia Selatan memperparah dampak gelombang panas, karena perempuan cenderung lebih rentan terhadap stres panas karena keterbatasan mobilitas, akses terhadap sumber daya, dan norma sosial yang membatasi aktivitas luar ruangan mereka.
Perempuan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan lingkungan karena peran sosial dan ekonomi mereka yang sering kali tidak setara dengan laki-laki. Contohnya, dalam beberapa budaya di Asia, Perempuan lebih sering melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak-anak, sehingga mereka lebih sering terpapar dengan panas dan polusi di dalam rumah. Selain itu, Perempuan juga memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya seperti air dan energi yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak panas yang lebih ekstrem.
Ini adalah tempat dimana konsep feminisme ekologi menjadi relevan. Menurut Roth-Johnso (2013) pembebasan perempuan dan pembebasan alam saling terkait satu sama lain. Ia berpendapat bahwa sistem patriarki yang mendominasi masyarakat juga berkontribusi pada eksploitasi alam. Oleh karena itu, pembebasan perempuan dan perlindungan lingkungan harus dilakukan secara bersamaan.
Feminisme ekologi mengacu pada cara pandang feminis tentang perubahan iklim dan lingkungan. Ini memperkuat hubungan antara kesetaraan gender dan kelestarian lingkungan. Dalam konteks ini, feminisme ekologi berbicara tentang bagaimana ketimpangan gender dan ketidakadilan sosial memperburuk dampak perubahan iklim dan lingkungan.
Menurut Hultman (2018) konsep maskulinitas dapat diaplikasikan pada isu-isu lingkungan dan bagaimana pria dapat berperan dalam mempromosikan keberlanjutan. Menerapkan konsep feminisme ekologi dalam penanganan dampak gelombang panas di Asia bisa berdampak positif pada kehidupan manusia dan lingkungan.
Pertama, dengan mengakui peran dan pengaruh yang berbeda dari laki-laki dan perempuan dalam mempengaruhi dampak perubahan iklim dan lingkungan, kita dapat membuat kebijakan yang lebih inklusif dan memastikan bahwa perempuan tidak terpinggirkan dalam upaya mitigasi dan adaptasi.
Kedua, dengan memperkuat peran perempuan dalam pengambilan keputusan, kita dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan lingkungan, terutama dalam kondisi darurat seperti gelombang panas ekstrem. Perempuan sebagai agen perubahan dapat berkontribusi pada upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan mendorong penggunaan energi terbarukan.
Ketiga, perempuan di Asia bertanggung jawab atas pengumpulan air dan penggunaan energi di rumah tangga mereka, namun seringkali mereka memiliki akses yang terbatas terhadap sumber daya ini, dengan memperkuat akses perempuan terhadap sumber daya seperti air dan energi, kita dapat memastikan bahwa mereka dapat mengatasi dampak perubahan iklim.