Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial sebagai Ujung Tombak Menangkal Radikalisme di Kalangan Generasi Milenial

Diperbarui: 6 Juni 2022   15:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada zaman modern ini media sosial tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir seluruh informasi dan berita sekarang didapatkan dari media sosial. 

Namun tidak seluruhnya informasi yang berada di media sosial itu valid. Banyak juga yang menjerumuskan ke dalam kesesatan dan hoax. Sebelum melangkah lebih jauh kita cermati dulu apa radikal itu.

Radikalisme sendiri adalah suatu prinsip pada diri seseorang atau kelompok untuk berpegang teguh pada nilai-nilai yang dianutnya. Jika menurut pengertian di atas, maka radikalisme ini bisa memiliki arti positif dan juga negatif. Positif contohnya bila ia memegang teguh dan rela berkorban hingga mati demi bangsa dan negara Indonesia. 

Dan negatif bila maksudnya ia tidak memperdulikan pendapat orang lain dan paling merasa benar sendiri hingga sampai menginginkan adanya pertumpahan darah. 1

Hal negatif itulah yang harus dibuang jauh-jauh dalam pikiran generasi milenial saat ini. Peran orang tua, tenaga pendidik, dan lingkungan sangat dibutuhkan dalam membimbing generasi milenial dalam bermedia sosial agar tidak terjerumus ke dalam ajaran radikalisme yang negatif. 

Contohnya dengan orang tua melakukan pembinaan dan mengontrol terhadap apa yang anaknya lakukan di dalam media sosial. Jangan hanya mau memberikan sebuah gadget lalu dibiarkan tanpa adanya kontrol sama sekali. 

Begitu pula dengan tenaga pendidik yang wajib memberikan arahan dan bimbingan dalam memberikan ilmu-ilmu agama dan ideologinya. Seperti pentingnya toleransi dalam keberagaman, dan pentingnya menghargai pendapat orang lain. 

Menurut data dari Kominfo, pengguna internet di indonesia pada tahun 2013 mencapai 63 juta pengguna dan pada saat ini bertambah hingga menjadi 132 juta pengguna. 

Tentu hal jika tidak diimbangi dengan pengawasan dan regulasi yang ketat oleh pemerintah, bisa menjadi potensi subur bagi pertumbuhan radikalisme di media sosial. 

Misalnya proses perekrutan, menurut pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, proses perekrutan Jamaah Ansharut Daulah atau JAD biasanya menggunakan media sosial yang dioperasikan dari dalam penjara. 

Dengan tahapan-tahapan yang bisa dibilang cukup simpel dan bisa menargetkan lagi-laki maupun perempuan. Awalnya dengan melakukan komunikasi efektif di media sosial lalu secara bertahap ditingkatkan menjadi pertemuan secara online untuk menanamkan bibit-bibit radikal lalu tahap ke-3 ditingkatkan lagi hingga bertemu secara offline. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline