Lihat ke Halaman Asli

Abdillah Hasan W

Someone who want to be better person

Jangan Normalisasi Lagi Budaya Patriarki!

Diperbarui: 30 Juni 2021   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: herstory.co.id

Sekian tahun Indonesia merdeka dari tangan penjajah, sekian lama bangsa Indonesia berkembang mengikuti perkembangan negara lainnya. Permasalahan terkait budaya patriarki masih saja sering terjadi. 

Belum lama ini, seorang perempuan memutuskan untuk tidak melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi karena stereotip perempuan hanya akan berada di rumah dan mengurusi anak. Bahkan saya sendiri pernah mendengar secara langsung stereotip tersebut. 

Ada yang mengatakan untuk apa perempuan memiliki pendidikan tinggi kalau pada akhirnya hanya akan di rumah saja, tidak meniti karier. Apalagi zaman sekarang perempuan lebih memilih mencari suami yang kaya daripada susah-susah bekerja meniti karier. 

Padahal di era Kartini, emansipasi wanita sangat diperjuangkan demi pendidikan, agar wanita dapat turut serta merasakan duduk di bangku sekolah dan menggapai cita-cita.

Budaya patriarki pastinya memiliki keterkaitan yang kuat dengan isu kesetaraan gender. Patriarki dalam gender umumnya cenderung mengunggulkan salah satunya, bertentangan Hak Asasi Manusia yang tidak ada diskriminasi. Budaya patriarki khususnya di tanah Jawa cenderung mengunggulkan kaum laki-laki saja. 

Kaum laki-laki jarang sekali mendapatkan diskriminasi berbeda dengan perempuan yang selain mendapatkan diskriminasi juga dilekatkan pada berbagai mitos kepercayaan masyarakat. Hak-hak perempuan cenderung ditekan atau bahkan tidak dianggap. Walaupun hal tersebut sangat kental di era penjajahan, keadaan saat ini tidak menutup kemungkinan stereotip yang berkembang masih mengakar kuat pada pola pikir masyarakat.

Secara etimologi wanita (dibaca wanito) berasal dari kata wani ditoto dalam Bahasa Jawa. Kata wani ditoto merujuk pada seorang perempuan yang selalu menuruti perintah suami, tidak memiliki hak atas kontrol dirinya sendiri. Seorang wanita dalam konteks ini memiliki makna seseorang yang lemah lembut, pasif, serta penurut. 

Citra yang berkembang di masyarakat memunculkan anggapan perempuan harus feminim memang telah mengakar kuat dan menjadi kebudayaan setempat. Sebenarnya hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang buruk karena pada nantinya juga akan berguna pada waktunya. Namun, pada berbagai kasus konteks wanito sering disalahartikan. Banyak kaum wanita yang tidak bisa melanjutkan karier mereka karena terhalang izin suami, padahal dia memiliki cita-cita yang ingin diwujudkan. Bahkan kasus tersebut ada yang berujung pada kekerasan fisik dan mental karena harus tunduk pada laki-laki.

Sistem budaya patriarki juga menempatkan laki-laki dalam kekuasaan dan peran yang dominan. Pada zaman dahulu perempuan memang tidak diperbolehkan berpendidikan tinggi karena hanya akan menjadi istri, mengurus anak dan di rumah. 

Tentunya budaya seperti ini yang telah berkembang menjadi stereotip masyarakat terkhususnya Jawa membuat kaum perempuan enggan meneruskan pendidikannya. Tidak jarang juga orang tua yang melarang anak perempuan mereka meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan hanya menghabiskan biaya. Apabila tidak ada pergerakan emansipasi wanita dari R. A. Kartini mungkin hingga saat ini hanya sebagian kecil perempuan yang berpendidikan tinggi.

Perawan tuwo adalah remaja perempuan yang sudah tua karena tidak kunjung menikah atau melewati umur umumnya remaja perempuan menikah. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku umur minimum perempuan untuk menikah adalah 19 tahun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline