kasus yang segera memantik banyak kalangan adalah peristiwa penusukan terhadap tiga jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Jalan Puyuh Raya, Pondok Timur, Kota Bekasi, baru-baru ini. kebetulan Peristiwa ini terjadi masih dalam suasana perayaan Idul Fitri, saat ni dinetralisasi oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Irjen Polisi Timur Pradopo sebagai sebuah tindakan kriminalitas murni tanpa adanya unsur agama. Tapi, pernyataan Kapolda Metro Jaya ini mendapatkritik dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Andreas Anangguru Yewangoe karena dinilai menyederhanakan permasalahan yang sebenarnya.
Penolakan ketua umum PGI terhadap pernyataan Kapolda Metro Jaya itu dapat dipahami karena lokasi penusukan tersebut mengingatkan banyak orang terhadap peristiwa yang pernah terjadi hanya beberapa hari sebelum datangnya bulan Ramadan. Pada saat itu, ratusan orang menyerang jemaat HKBP Pondok Indah Timur di Kota Bekasi. Logika awam tentu dengan mudah mengaitkan peristiwa penusukan tersebut dengan konflik yang pernah terjadi sebelumnya.
namun penulis berpendapat orang paham betul terhadap doktrin agama akan menolak anggapan tersebut. Sebab, jika ditelaah denagn mendalam dan jujur, kehadiran agama ke muka bumi, antara lain, justru ingin merespons dan memberikan solusi secara mendasar terhadap berbagai persoalan manusia, seperti hubungan dengan manusia lain, agar berlangsung harmoni dan tanpa konflik kendati hidup dalam berbagai perbedaan.
pernyataan ini bujan murni pendapat penulis ya!!!, menurut eorang romo dan intelektual Katolik, Prof E. Armada Riyanto, dalam bukunya yang baru saja terbit, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah (2010) beliau menyatakan bahwa yang bergumul dengan kekerasan (seperti perusakan tempat ibadah dan penyerangan terhadap kelompok agama lain) bukan agama, melainkan subjek-subjek manusia yang beragama.
jadi, kekerasan berlatar agama itu bukan masalah perbedaan agama an sich melainkan oleh subjek-subjek manusia yang beragama. bisa saja masalah permasalahan sengketa tanah yang jadi biangnya tersebut adalah aktor intelektualnya (semoga salah, naudzubillahi min dzalik) atau pihak lain yang sengaja memperkeruh suasana. karena ekerasan dengan alasan agama merupakan kekerasan yang paling cepat mengundang reaksi dan cepat pula menimbulkan eskalasi lebih luas seperti diambon dan poso.
mengatasi permasalahan ini sebaiknya jangan hanya menggunakan ndekatan teologis dan dialog yang melibatkan berbagai komunitas lintas agama saja. tapi campur tangan pemerintah jiga diperlukan. ingat selama pemerintah melakukan pembiaran dan tidak melakukan pencegahan terhadap anarkisme yang bearoma agama hingga mendorong sekelompok orang untuk tetap melanjutkan aksi kekerasan, jangan harap kekerasan yang mengatasnamakan agama dapat dihilangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H