Lihat ke Halaman Asli

abdil azizul furqon

Freelancer Asisten Peneliti

Kenapa Cebong dan Kampret Bisa Menjadi Identitas Baru ?

Diperbarui: 21 Februari 2019   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.google.com/amp/s/suarasikka.com/2018/08/22/dua-dunia-sosial-baru-cebong-vs-kampret/amp/

Cebong dan kampret, merupakan dua kata yang sering digunakan oleh pendukung masing-masing calon presiden guna menjustifikasi atau memanggil orang lain pada saat berkomunikasi dengan lawan politiknya.

Kedua panggilan tersebut terus bergema pada tataran akar rumput, baik di media sosial maupun di dunia nyata. Bagi sebagian orang sih, kedua panggil tersebut hal yang sepele dan jenaka hanya untuk memanggil saja. Sehingga dibiarkan mengalir begitu saja tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Namun bagi saya, kedua panggilan itu bisa menyebabkan konflik di masyarakat.

Menurut saya, ketika pendukung paslon 01 memanggil pendukung 02 dengan panggilan "kampret" ataupun sebaliknya sama dengan memberikan jurang pemisah antar pendukung paslon. Kemudian bisa mempertajam ruang perbedaan dan mengklasifikasikan seseorang untuk dukungan paslon presiden.

Kedua panggilan tersebut sama halnya dengan kalian dan kita, kami dan mereka, atau saya dan dia. Untuk menyingkat waktu, saya akan menjelaskannya pada tulisan ini.

Panggilan menjadi Identik

Panggilan merupakan suatu tanda yang dilakukan oleh manusia ketika ingin mengklasifikasikan ataupun menjustifikasi suatu benda dengan benda lainnya yang tertanggap oleh panca indra. Misalnya, ketika saya memegang benda maka dalam memori saya langsung muncul semua yang berkaitan objek tersebut beserta nama panggil dari sebuah benda tersebut, katakanlah yang saya pegang itu meja.

Begitu juga ketika saya melihat seseorang yang saya kenal, maka dalam memori saya secara spontan akan memanggil dia dengan nama yang sudah dikenalkan kepada saya.

Ketika zaman penjajahan Belanda dahulu, masyarakat lokal atau pribumi juga sempat mengalami hal sama, yaitu panggilan yang bisa memberikan jurang pemisah. Saat itu, penjajah Belanda memanggil masyarakat lokal dengan panggilan inlander.

Meski secara kebahasaan, kata tersebut berarti penghuni asli sebuah daratan, namun kata tersebut berubah muatan dasarnya menjadi konotasi negatif. Akhirnya, kata dalam bahasa tersebut menjadi stigma yang teridentikan terhadap suatu kelompok ataupun individu yang sudah terjustifikasi secara sikap, perkataan, maupun tampilan.

Pengklasifikasian yang dilakukan dengan cara panggilan kepada suatu kelompok pada awalnya memang hanya sebatas pada alam sadar kita. Namun cepat atau lambat, proses tersebut akan masuk pada alam bawah sadar kita, untuk mengidentikan suatu kelompok dengan panggilan tersebut. Kemudian kata yang pada awalnya memiliki konotasi netral dan positif, bisa berubah muatannya menjadi negatif hingga menjadi stigma di masyarakat.

Misalnya untuk cebong, kata cebong kan asal katanya dari kecebong. Muatan kata itu bersifat positif dan netral, sebab kecebong itu bentuk awal dari katak. Namun kata tersebut bisa menjadi negatif karena terseret pada arus politik yang sedang terjadi saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline