Emmanuel Levinas (1906-1995) merupakan keturunan Yahudi yang dibesarkan di negara Perancis. Levinas adalah filsuf kontemporer yang pernah meramu pemikiran filosofinya dari tradisi agama Yahudi dengan tradisi Filsafat Barat dalam pendekatan fenomenologis.
Hal menarik dari pemikiran Levinas yang menjadi konsumsi para filsuf adalah soal etika, yang justru pemikiran ini dimulai dari konsep tentang iman melalui hubungan antar-manusia, Itu sebabnya Levinas terkenal juga sebagai seorang Tokoh moralis.
Awalnya Levinas berpikir bahwa seluruh rangkaian pemikiran Barat dengan semua kemajuan ilmu pengetahuan, sejatinya telah membuat manusia menjadi terlalu agresif sehingga mementingkan diri sendiri. Maka timbul masalah ontologi budaya yang selalu menghalangi pandangan seseorang terhadap hubungan fundamental dengan sesamanya yang terus berlangsung dari waktu ke waktu, sampai mati. Fenomena ini menurut Levinas adalah totalitas dalam diri individu yang bersifat egosentrisitas.
Totalitas muncul dalam tradisi filsafat barat sejak Descartes, yang menempatkan pribadi manusia sebagai individu yang total. Dan seharusnya manusia sebagai individu yang total berperan sebagai subyek yang terpisah dari segala obyek lain diluar dirinya sendiri---manusia lain, makhluk lain, atau benda-benda yang lainnya. Totalitas harus dihancurkan oleh "yang tak berhingga". Dikatakan "yang tak berhingga" karena realitas diluar diri manusia tidak dapat dikuasai oleh totalitas individu manusia itu sendiri.
Baca juga: Filsafat "Wajah" Emmanuel Levinas
Ambivalensi Etis
Menurut sang moralis Levinas, bahwa dalam melihat kenyataan terhadap sesama muncul ambivalensi. Ada dua sikap memandang kenyataan, yaitu: kenyataan sebagai "totalitas" dan kenyataan sebagai "ketakberhinggaan".
Pertama, kenyataan sebagai totalitas adalah dengan munculnya pemikiran yang menganggap kenyataan sebagai totalitas sehingga berasumsi bahwa seluruh realitas dapat dimengerti. Artinya manusia sebagai subjek akan mampu 'menangkap' seluruh kenyataan sebagai objek. Seluruh kenyataan ini dianggap sebagai satu sistem dengan manusia sebagai pusatnya.
Kedua, ketika kenyataan dapat dianggap sebagai ke-tak-berhinggaan dan bahwa dalam kenyataan ada sesuatu yang tidak dapat ditangkap, serta sesuatu yang tidak pernah menjadi objek dan yang merusak totalitas itu sendiri, sehingga totalitas tersebut menjadi ke-tak-berhinggaan, maka dalam hal ini seseorang akan melihat sesamanya dan mengalami peristiwa yang disebutkan dalam bahasa Yunani sebagai "Wahyu", dimana Allah langsung memperlihatkan Diri-Nya melalui "wajah" sesama manusia (Yang lain).
Wahyu dalam Wajah Sesama
Mari kita sedikit memahami konsep "wajah" pada bagian kedua diatas. Bahwa dalam hal ini wajah manusia akan mengatasi semua objek, mengatasi dunia fisis, dan menjadi sesuatu yang metafisis, bahkan yang transenden.