Lihat ke Halaman Asli

Abdy Busthan

Aktivis Pendidikan

Nalar Agama dalam Pilkada

Diperbarui: 17 Februari 2019   17:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : twitter/tedkanin

Ada semacam aforisme menarik yang kerapkali muncul di negara ini menjelang Pilkada, yaitu bahwa "agama" hampir menjadi satu-satunya pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan rasionalitas pengetahuan (vernunft) dan lebih dasyat dari naluri intelektual (verstand). 

Dalam istilah Immanuel Kant, bisa kita katakan bahwa agama lebih memacu perubahan, histeria, atau amuk massa. Bahkan agama sangat menggetarkan sensori publik hingga mempengaruhi setiap kebijakan publik di negara ini.

Ironisnya lagi, meskipun harus berseteru dengan siapa saja, rupanya para politikus di negara ini juga gandrung menggandeng jalur agama sebagai sekutu dalam merebut kuasa politik praktis dan pragmatis. 

Dan akhirnya, politik agama kerapkali menggetarkan panggung Pilkada dengan semakin memperkokoh politik persuasi hingga mengumbar ragam provokasi. Dan selalu saja, upaya memperdagangkan agama pada situasi Pilkada memang lebih pekat konsentratnya. 

Coba Anda perhatikan, tiba-tiba saja pasangan politik yang terkenal paling sekuler sekalipun, akan fasih membaca dan menafsir Kitab Suci. Bahkan mereka bisa mahir menggunakan surban dan tasbih semata-mata hanya untuk kepentingan politik.

Religiusitas yang Fanatik Beragama

"Indonesia termasuk negara yang paling religius di muka bumi ini". Demikianlah sebuah kesimpulan dari salah satu penelitian di Jerman yang dilakukan oleh Yayasan Bertelsman di tahun 2009. Beberapa kriterianya adalah: percaya kepada Tuhan, percaya dunia roh, dan kuasa gaib, berdoa secara teratur, dan fanatik beragama.

Namun timbul persoalan. Pada titik ini agama justru dijunjung tinggi, setinggi-tingginya melampaui substansi yang sebenarnya dari agama itu sendiri. Akhirnya, umat memeluk agama tanpa memeluk kemanusiaan. Sehingga korelasi antara religiusitas dan kesalehan sosial tidak nampak sama sekali. 

Etos kerja pun menjadi rendah, bahkan cenderung konsumtif (menikmati) dari pada produktif. Fenomena ini dapat kita katakan sebagai suatu keberagaman yang mengalami krisis komplikasi.

Bisa kita lihat beberapa kejadian yang sering terjadi. Bahwa atas nama agama, harkat sesama makhluk yang dikasihi Tuhan kerapkali dilecehkan di negaranya sendiri. Tempat ibadah pun di rusak. Bahkan orang yang mau beribadah pun dihambat. Inilah ciri-ciri "rasa keagamaan" yang lebih tinggi dari rasa ketuhanan (boleh dibaca: fanatik beragama).

Nalar Agama & Nalar Pilkada

Mari kita kembali kepada soal Pilkada. Pertanyaan menggelitik terkait uraian di atas adalah, apakah agama memiliki rasionalitas dan nalar intelektual yang berbeda dengan nalar dan rasionalitas pengetahuan pada umumnya? Khususnya nalar Pilkada?

Nalar agama seharusnya tidak kontradiktif dengan nilai-nilai universal, seperti: keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, demokrasi, dan keberagaman. Nalar agama harus progresif dan proaktif dengan situasi yang berkembang dalam konteks historisitas masyarakat dan normativitas kebangsaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline