Lihat ke Halaman Asli

Abdi Fahmil Hidayat

Mahasiswa Prodi Hukum & Peneliti Pusat Kajian dan Konsultasi Hukum Universitas Nurul Jadid

Budaya Hukum (Legal culture) Pengemis Online

Diperbarui: 30 Januari 2023   09:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Budaya hukum merupakan nilai, pemikiran, serta harapan atas kaidah atau norma dalam kehidupan sosial masyarakat. Hukum yang dibuat pada akhimya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala hukum atau fenomena seperti “Pengemis online” yang saat ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat indonesia.

Fenomena tersebut menunjukan bahwa budaya hukum yang diidamkan ternyata masih jauh dari apa yang diharapkan melihat kurangnya kesadaran masyarakat terkait dengan hukum itu sendiri, hal tersebut  bisa kita lihat dimana masyarakat masih cenderung untuk melakukan pelanggaran hukum dengan sengaja.

Fenomena “Pengemis online” marak terjadi di media sosial TikTok. Beragam cara dilakukan seperti contoh merendam diri di kubangan lumpur, mengguyur tubuh dengan air, bahkan melakukan tindakan yang tidak wajar demi mendapatkan sebuah hadiah. Hal tersebut mendapatkan ragam kecaman dari masyarakat karena tak jarang yang dijadikan objek eksploitasi merupakan kelompok rentan, diantaranya anak, orang tua, lansia bahkan penyandang disabilitas.

Budaya hukum (legal culture) ini dapat kita lihat dari kurang tegasnya sikap yang ditunjukkan oleh aparat penegak hukum terhadap “pengemis online’ yang terbukti melakukan kegiatan mengemis di media sosial TikTok. Menurut hemat saya, sikap dari aparat penegak hukum diatas menunjukkan bahwa budaya hukum aparat penegak hukum tersebut masih kurang baik. Faktor budaya dan faktor masyarakat tersebut diatas ternyata telah berperan menghambat pelaksanaan penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan “pengemis online”.

Salah satu faktor penyebab dari fenomena tersebut ialah sangat terkait dengan faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan faktor kebudayaan yaitu mencakup nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam kehidupan masyarakat mengenai apa yang dianggap baik (sehingga diikuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Budaya masyarakat kita sangat kental dengan nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan. 

Budaya masyarakat menghendaki setiap anggotanya agar mengasihi sesama dan memberikan pertolongan kepada yang tidak mampu. Nilai-nilai ini menyebabkan adanya anggota masyarakat yang bersimpati kepada pengemis online dengan memberikan uang.

Namun akhir-akhir ini, Menteri Sosial Republik Indonesia Tri Rismaharini menerbitkan surat edaran (SE) yang ditujukan kepada pemerintah daerah  untuk menindak fenomena pengemis online yang marak terjadi di aplikasi TikTok. Surat edaran tersebut bernomor 2 Tahun 2023 tentang Penertiban Kegiatan Eksploitasi dan/atau Kegiatan Mengemis yang Memanfaatkan Lanjut Usia, Anak, Penyandang Disabilitas, dan/atau Kelompok Rentan Lainnya.

Surat edaran Mensos itu juga mengatur tindakan yang harus dilakukan jika menemukan kegiatan eksploitasi sebagaimana dimaksud.  Pemerintah daerah (Pemda) dan masyarakat diminta melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Satuan Polisi Pamong Praja apabila menemukan kegiatan mengemis dan/atau eksploitasi para lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, dan/atau kelompok rentan lainnya.  

Tidak hanya itu, Pemda diminta untuk memberikan perlindungan, rehabilitasi sosial, dan bantuan kepada para lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, dan/atau kelompok rentan lainnya yang telah menjadi korban eksploitasi melalui mengemis baik yang dilakukan secara offline maupun online di media sosial.  Pasalnya, kegiatan mengemis baik secara offline maupun online dikategorikan menggangu ketertiban umum.

Polarisasi aktifitas mengemis atau meminta-minta baik secara online maupun offline berkembang begitu pesat dan cepat sehingga sangat sulit diidentifikasi sebagai kegiatan mengemis, terlebih diorganisir melalui lembaga-lembaga sosial resmi atau berbadan hukum.

Terjadinya suatu transisi konsep mengemis di era kekinian yang lebih terkontrol, terencana, terprogram dan tidak hanya dilakukan oleh Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), melainkan dimainkan oleh aktor-aktor intelektual dengan memanfaatkan objek kelompok rentan seperti orang tua, anak, lansia bahkan penyandang disabilitas.
Selain peran pemerintah, peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengatasi fenomena tersebut. Karena masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum, maka idealnya masyarakat harus ikut berperan serta dalam pelaksanaan penegakan hukum guna mengatasi fenomena tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline