Setiap tanggal 24 September kita memperingati Hari Tani Nasional sebagai wujud dalam mengingat jasa para petani dalam mewujudkan Swasembada pangan. Indonesia merupakan negara yang berpendapat dari sektor pertanian dan perkebunan, yang membuat bangsa indonesia dikenal sebagai negara agraris, tapi semua apa di kata miris.
Kembali kita melihat sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa " Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat".
Amanat tersebut mengisyaratkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya dengan melakukan pengelolaan sumber daya dimilikinya secara adil, tetapi jauh kita melihat justru bertolak belakang, banyak sekali kasus konflik agraria yang terjadi dan jauh dari harapan.
Konflik agraria yang terjadi, dikarenakan perebutan lahan antara korporasi dengan masyarakat adat. Disisi lain dari konflik ini, justru masyarakat adat lah yang terkena imbas dari konflik berkepanjangan ini.
Padahal sejatinya masyarakat adat telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat dikenal dan dihormati eksistensinya di dalam konstitusi, dan ini telah dijelaskan dalam Pasal 18 (b) ayat 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang secara gamblang menyatakan "negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".
Masyarakat adat memiliki wewenang terhadap tanah ulayat yang ini telah di jelaskan dalam Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999, pasal 1 angka (1) menyebutkan hak ulayat adalah "kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan wilayah lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan."
Permen ini memberikan jaminan bahwa masyarakat adat bisa memperoleh kewenangan dari wilayah adat tersebut yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, baik itu tanah yang dipergunakan demi kelangsungan hidup masyarakat adat.
Jika kita melihat kembali bahwa sejatinya polemik agraria terjadi di indonesia , sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial belanda. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekspansi lahan, yang mana memaksa petani untuk diambil lahanya demi kepentingan semata.
Selanjutnya pada masa orde baru, yang mana pemerintah orde baru mengalami eskalasi yang sangat signifikan dengan bentuk dua konflik yang sangat umum yaitu, pertama konflik antara petani dengan swasta, terutama dikarenakan dikeluarkannya HGU (Hak Guna Usaha) diatas tanah ulayat adat tersebut.
Kedua adalah konflik antara petani dengan pemerintah terkait dengan pembebasan lahan diatas tanah yang telah dikuasai atau dimiliki oleh petani untuk pembangunan infrastruktur. Perlakuan yang tidak adil didapatkan oleh masyarakat adat, baik itu tindakan yang dilakukan oleh pihak swasta maupun dari pihak pemerintah.
Ketidakadilan ini justru membuat semakin meningkatnya kasus yang terjadi di Indonesia, sebagai contoh kasus agraria yang sampai sekarang belum tuntas yang bermula pada tahun 2011, masyarakat adat dayak di kabupaten Sintang Kalimantan Barat yang menentang pengoperasian hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit yang mengambil 200 hektar lahan pemukiman, perkebunan rakyat, dan tanah ulayat.