Sekali lagi, aku tulis tentang seseorang yang pernah duduk di samping teras rumah. Melantunkan nyanyian penghibur duka lara. Memaksa mulut tersenyum di antara benih-benih cinta yang pernah terobek berkeping-keping.
Dua kali sudah, kelopak mata berderai memanggil-manggilmu kembali. Pada pangkuan yang pernah bersama merajut asa.
Desember ini, air Tuhan turun dengan berani. Bukan lagi menciptakan rindu. Tetapi, kali ini desember menciptakan pilu.
Waktu yang fana. Kulitku menua. Jiwa-jiwa abadi bernyanyi memuji langit. Yang lelah, kini telah beranjak untuk bangkit.
Di samping yang hidup, ada lilin meratap dikabulkan. Oleh mereka yang tak lagi dilihat oleh tatapan. Yang tak lagi mendapat hangat dalam dekapan. Yang tak mampu mendengar nyanyian-nyanyian merdu tentang kehidupan.
Jalan itu jadi gelap saat mata terlelap. Aku bingung, dirimu kemana. Berjalan, tak menoleh dan dirimu belum kembali. Tak ada sepatah kata yang keluar kau memilih pergi.
Kekasih, dimana dirimu ?
Kalaupun jalanmu gelap, beritahu aku, biar ku terangi itu dengan doaku. Walapun doaku tak seterang doa-doa orang suci. Tapi akupun pendosa yang punya hati, dan akupun sama seperti mereka, sama-sama titipan ilahi.
Pulanglah, Desember ini tidak membuatku bahagia. Aku masih menunggumu pada tungku mama. Masih setia membakar kayu yang pernah diikat pada puing-puing kelam, meski mata harus memerah perihal debu yang bertebaran kemana-mana.
Sekali lagi pulanglah, ada syair-syair yang harus di baca dengan kata-kata bernyawa. Sebelum waktu menghampiriku bersama malaikat yang tak mengenal kompromi. Luka-luka yang pernah kau tinggalkan sudah mulai membusuk kekasih.
Kediri, 04 Desember 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H