Jumat keramat kita diuji dengan pelbagai dentuman yang tak main-main. Disanjung dengan puluhan lagu-lagu perjuangan. Dihina dengan makian yang menusuk hati. Tapi, itulah hidup. Banyak yang suka dengan hati, tak sedikit yang benci sampai hari ini. Kita hanya hadapi dengan lapang dada. Sebab, semua adalah ujian hidup.
Terima kasih waktu. Terima kasih tanah, air, dan udara. Kami berutang budi pada tanah sejarah; Jawi Nyawiji. Bersyukur pada Tuhan, bukan hantu. Dan, tak lupa pada nama-nama leluhur.
Biarkan waktu terus berputar. Kita mesti setia berkata jujur. Sedikit bicara banyak bekerja-berkarya lebih berguna. Ketimbang cengkunek yang tak ada tindakan nyata. Hidup tak hanya sekadar menghabiskan waktu begitu saja. Namun, menikmati setiap proses di mana pun bumi dipijaki lebih bermanfaat.
Di Jumat Keramat, sepuluh ribu dua ratus orang yang datang. Membuka ruang, memberi gagasan segar. Bahwa, akan ada saatnya, kami akan datang lagi. Mengunjungi tanah ibu. Memperbaiki rumah ayah. Banyak hal yang mesti ditelusuri. Banyak tempat lagi yang harus dikunjungi.
Jelajah di tanah sejarah, kita banyak menemukan jawaban. Kamulah orang hebat yang lahir di bumi manusia. Tetaplah berdiri di sampingku wahai sang penginspirasi. Ajaklah aku tetap teguh berdiri di jalan kebenaran. Hidup dengan sederhana, tapi kaya hati. Berjalan dengan langkah pasti bukan dari hasil merampok.
Sekali lagi aku berutang budi pada tanahmu, pada leluhurmu yang telah memberi banyak pelajaran hidup. Aku tetap ingat segala pesan-petuah berlian,
"hidup dengan rakyat. Gugur di medan juang karena kebenaran."
Kediri, 20 November 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah
Noted:
Cengkunek= Omong Kosong (sumber KBBI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H