Lihat ke Halaman Asli

Abdul Azis

Belajar menulis

Bukan Cerita Habibie Ainun

Diperbarui: 30 Oktober 2020   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Jarak menjadi alasan kita terhempas rasa dalam temu. Aku menemukanmu dalam bentangan teks-teks yang diukir dengan teliti. Dan, kucoba menyampaikan salam untukmu lewat angin malam. Biar kata rinduku mampu kau dengar dengan fasih dalam cerita kasih Azis Ainul.
_____________________
Ainul, ragaku telah terpisah dalam waktu lama. Lantaran pergi menabur benih di kota lain. Tapi, citamu selalu kuteguk untuk menyemangati rasa. Aku takkehilangan apa-apa.

Aku tak lupa merayu agar tetap mengingatmu. Karena menjagamu adalah tugasku sebagai lelaki yang tak lupa diri.

Merawat ragamu adalah keinginan rasa yang masih bersemi dengan setia. Sampai, detik ini waktu sulit kuajak untuk menatapmu dengan senyum. Hari ditunggu seolah masih bersikukuh dalam larutan hitam pekat yang melekat. Kita semakin diaduk oleh belenggu yang meminta segera dijawab lewat jemari menari.

Ainul, meski kita bukan dalam cerita Habibie Ainun yang saling merawat kasih sayang. Maka, kumohon tetaplah merawat aku seperti nadimu yang sering bergetar kala menyampaikan rindu yang tak bisa dibendung. Hembuslah nafasmu dengan tenang saat kau mengingat bayanganku. Biar aku di sini melakukan hal yang setara demi tetap dalam kesatuan janji-janji manis mengikat.

 Dan, kita adalah tali-temali yang tak mudah putus, walau perbedaan sering tiba mengganggu. Untuk tetap mengenangmu dalam jiwa. Aku selalu berdoa dengan tenang di keheningan malam. Kutemukan rupa pada barisan yang dihitung kala usai menyatukan dahi dengan bentangan kain kuning di atas ubin putih. Begitu tenang hati menawan dengan lantunan bacaan sahdu.

Seperti kau hadir dengan nyata menyapaku agar kita terbang bersama burung-burung malam. Dan, kuusap wajahku, bayanganmu kembali hilang. Kusadari dengan tenang, "Kalau aku sedang berada pada posisi halusinasi."

Aku kemudian membaca bait-bait logika di malam penuh sejarah. Aku padukan imaji mendalam menemukan rasa yang sempat pudar. Dalam asap putih, aku kembali membacamu di malam Sabtu. Dan, tiada henti kuberdiri dalam waktu lama menyandarkan diri di dinding yang berlatar gedung-gedung menjulang tinggi.

Kau adalah arti dari dasar yang pertama kali diletakan. Dan, tetap kujaga demi memenuhi ingin yang sudah terbalut dengan budaya yang selalu melilit.

Kediri, 30 Oktober 2020
Buah Karya: Abdul Azis Le Putra Marsyah




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline