Lihat ke Halaman Asli

Abdul Azis

Belajar menulis

Aku Pamit Lebih Awal Sebelum Perasaan Jadi Bandel

Diperbarui: 24 Oktober 2020   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri Azis

Aku Pamit Lebih Awal Sebelum Perasaan jadi Bandel

Buah Karya: Le Putra Marsyah

Kita pernah tertawa bersama
Walau dalam waktu begitu singkat
Kita saling berbagi dengan rasa
Walau banyak yang masih terpendam

Dan, aku tak mahu
Masuk lebih dalam menunggu
Kemudian kau sodorkan tegukan cinta
Sebab, datangku tak untuk memiliki

Aku pamit lebih awal
Sebelum perasaan jadi bandel
Hingga kita saling menaruh harapan
Untuk mengiyakan kesepakatan

Adalah restu semesta yang masih setia berpihak untuk kita beradu pandang. Mata-mata selalu bersinar menatap dalam-dalam. Senyum menyapa setiap bibir yang bergerak dengan kata-kata teduh. Hingga kita sulit pindah ke lain tempat. Sebab, tanah pun masih mengizinkan kita untuk berpijak lebih lama lagi.

Deru penjelasanmu yang menjawab tanyaku, sampai saat ini tak bisa dilupakan dengan mudah. Hadirmu menambah semangat untuk tetap gila dalam berimajinasi. Kau penuhi segala tuntutan hati yang bergelembung dalam menjangkaui arus waktu. Kemudian, kau sodorkan aku segelas teh kenyamanan untuk diminum.

Kebahagian tetap tumbuh dengan riang, seperti orang-orang yang menggoyangkan badannya ketika lelagu diputarkan di pagi. Kita menggerakan otot-otot kaku untuk tidak menegang. Dan, tak perlu terlalu serius agar memahami satu sama lain. Sebab, hidup mengajarkan kita untuk tetap baik sama siapa saja. Hari memberi kita sinar untuk tetap terikat oleh segala cerita.

Apakah hatimu saat ini susah berdalih untuk menyampaikan yang sebenarnya? Kenapa kau suka mengirimi aku 'emot' yang sulit dimengerti? Atau kau susah membahasakan bahasa rasa dan gejolak jiwa yang sedang terpikat? Dan, maaf aku masuk terlalu jauh untuk mengganggu ketenanganmu.

Ragamu remuk terbentur kesibukan. Pintamu padaku untuk lebih dahulu lelap ke dunia lain. Tapi, aku sodorkan kata-kata hingga matamu melotot. Hatimu merasa heran, kenapa aku seperti ini tanpa ada badai salah yang datang melanda. Aku pun menjawab tanyamu seolah tak percaya. Kuyakinkan dirimu, kalau aku benar-benar pamit pergi untuk selamanya.

Dan, esok tak ada temu; tak ada lagi sapa. Latatan kita hanyalah mimpi yang pernah dipertemukan semesta. Kita hanyalah raga yang pernah nyaman di ambang waktu yang terlalu darurat. Dan, kusampaikan banyak terima kasih, karena kau dan penjelasan teduh sudah masuk dalam cerita berhargaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline