[caption id="attachment_199543" align="alignnone" width="445" caption="sumber fotohttp: www.exploratorium.edu"][/caption]
Dan dialah lelaki masyhur di kalangan penghuni langit: miskin, muda, yatim. Dialah pesohor yang dielu-elukan penduduk langit; bukan Nabi, bukan sahabat, tapi—syahdan—dua khalifah, Umar ra. dan Ali kw., terseok-seok mencari jati dirinya, terobsesi ingin mereguk berkah doa darinya sebagimana dianjurkan Rasulullah saw. “Ia bukan penghuni bumi. Ia penghuni langit. Mintalah [berkah] doa dan istigfar darinya..” kata-kata Nabi itu, agaknya, terekam berat dalam memorinya.
Dia lelaki Yaman. Profesinya penggembala kambing dan unta. Dari upah menggembala inilah, ia mencukupi dirinya serta ibunya yang renta dan lumpuh untuk bertahan hidup. Bila upah itu lebih, ia sedekahkan untuk tetangganya yang senasib dengannya. Pakaian yang menempel di tubuhnya hanya dua lembar: satu untuk penutup badan, dan satunya lagi untuk selendangan. Konon, zaman itu, banyak orang yang mengolok-olok kemiskinannya, menghina-hina dan menertawakan dirinya. Tak aneh, dalam sebuah riwayat literatur sufisme, saking miskinnya, lelaki ini mencari makan dari tong-tong sampah yang ada. Dalam satu momen, ketika tengah mengais-ngais sampah, di sebelahnya ada seekor anjing yang juga sedang mengais-ngais makanan. Ia lalu berkata: “Wahai anjing, jika sebagai manusia berakal aku kelak tak selamat, maka sungguh engkau lebih baik dariku.”
Kenapa Nabi bisa memuji lelaki miskin ini? Kenapa kemudian Umar dan Ali bersiteguh mencarinya? Dalam sebuah riwayat hadits dikisahkan: pemuda ini ingin sekali bertemu dengan Nabi Muhammad saw yang tinggal di Madinah. Ia merindukan Nabi serupa pecinta yang sekian lama tak bersua. Terlebih, banyak tetangganya yang ia dengar telah berjumpa dengan Kekasih Allah itu. Tapi, ia masygul. Bagaimana biaya menuju Madinah? Bagaimana dengan ibunya? Siapa yang merawatnya? Apalagi, saat ia dengar Nabi terluka dalam Peperangan Uhud dimana giginya tanggal akibat lemparan batu musuh-musuhnya, ia kian gelisah. Ia ingin segera menziarahi Nabi. Saking cintanya kepada Nabi yang belum pernah ia jumpai itu, ia tanggalkan juga giginya dengan batu. Kian hari, rindu benar-benar melandanya. Ia tak tahan. Ia lalu mencurahkan perasaan itu ke ibunya.
Sang ibu kelu. Ia mengerti betul iman anaknya terhadap Baginda Nabi. Ia memahami sekali gejolak rindu anaknya yang kuyu dan miskin ini. Ia pun meridhainya. “Pergilah, Nak. Temuilah Rasulullah di rumahnya. Tapi, setelah bertemu, lekas pulanglah.” Mendapat restu ibunya yang uzur, Uwais begitu bungah. Ia berkemas-kemas untuk segera berangkat. Namun, tidak lupa, ia siapkan keperluan ibunya dan ia titipkan kepada tetanga bila terjadi apa-apa dengan ibunya.
Pemuda itu pun pergi, menempuh perjalanan jauh, melewati jalan-jalan berdebu, menaklukkan gurun-gurun pasir yang tandus, mengakrabi panas yang terik dan malam yang teramat dingin. Allah Maha Kuasa, akhirnya, perjalanan dari Yaman ke Madinah yang jaraknya 400 Km-an itu lulus ia tempuh. Tapi, sayang, Allah juga punya kehendak lain. Setibanya di rumah Nabi, ia tidak mendapati manusia agung itu. Yang ada hanya istrinya, Siti ‘Aisyah ra. “Rasulullah sedang di medan perang..”ujar ‘Aisyah. Betapa sedihnya sang pemuda mendapati kenyataan ini. Ia bingung, antara menunggu Nabi yang tak pasti kembalinya atau mengikuti titah ibunya untuk segera pulang.
Akhirnya, ia mengikuti kata hatinya: bertaat kepada pesan ibunya. Ia memilih pulang selepas perjalanan jauh yang penuh lika-liku, dengan hati yang masih mengharu-biru. Ia pamit kepada Aisyah dan minta tolong disampaikan salamnya untuk Rasulullah saw.
Suatu ketika, Nabi kembali dari peperangan. Ia langsung bertanya kepada istrinya ihwal pemuda yang sempat menziarahi rumahnya. Tentu saja ‘Aisyah dan para sahabat bertanya-tanya tentang pemuda yang dimaksud Nabi itu. Lalu Nabi menjelaskan: dialah Uwais Al-Qarny, anak yang begitu taat kepada ibunya, salah seorang penghuni langit [namanya begitu terkenal di dunia langit]. Subhanallah. Aisyah dan para sahabat tertegun. Dan Nabi pun bersabda: “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya." Sesudah itu, Nabi saw memandang sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dan sayyidina Umar bin Khattab ra. seraya bersabda, "Suatu saat, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi".
Demikianlah. Singkat kisah, kedua sahabat itu akhirnya memang bertemu dengan Uwais: lelaki yang ibadah adalah jiwanya. Itupun setelah sekian tahun berlalu, selepas Nabi berpulang ke hadirat Ilahi. Mereka akhirnya bertemu lelaki yang malam-malamnya tak pernah alpa dari munajat kepada-Nya, lelaki yang siang-siangnya tak pernah lelah berpuasa, mengharap ridha-Nya. Lelaki yang air matanya tak pernah kering mengingat Allah. Lelaki yang mulutnya tak letih menzikir nama-Nya. Sepanjang hidupnya, ia meniti jalan kefakiran materi. Tapi itu tidak memupuskan semangatnya beribadah. Bahkan, sewaktu ditawari Khalifah Umar jaminan materi untuk menjamin hidupnya, ia pun menolak secara halus. Plus dengan embel-embel: “Cukup sekali ini saja hamba dikenali orang-orang. Selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak dikenal orang-orang.”
Syahdan, Sang Pemilik Jiwa memanggilnya. Uwais wafat dalam misteri dan meninggalkan jejak tanda tanya di negeri Yaman. Saat ia meninggal dunia; mulai dari prosesi pemandian hingga pemakaman, banyak sekali orang berebutan ingin mengurusnya. Pun saat jenazahnya diusung, begitu banyak yang mengusung, mengiringi, dan mengantarkan jenazahnya ke areal pekuburan.
Kala itu, penduduk Yaman tentu saja bertanya-tanya: "Siapakah sebenarnya engkau, wahai Uwais al-Qarni? Bukankah Uwais yang kami kenal hanya seorang fakir yang tak punya apa-apa, yang pekerjaanya hanya penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah Uwais dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya bahwa "Uwais al-Qarni" ternyata tak terkenal di bumi tapi terkenal di kalangan penghuni langit. Dan dialah pesohor sejati.
Begitulah. Bila Anda pernah membacanya, abaikan saja kisah ini. Bila belum, ada baiknya, mari merenungkan kembali terkait ibadah kita kepada Sang Pemilik Jiwa, Allah Azza wa Jalla. [Berbagai sumber]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H