Lihat ke Halaman Asli

Banyak Mantra di Luar “Man Jadda Wajada”

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak bisa dipungkiri, selepas novel dan film Negeri 5 Menara laris manis, pepatah Arab “Man Jadda Wajada” begitu akrab di telinga.  Tapi, tahukah Anda, di luar pepatah tersebut, banyak sekali  pepatah Arab serupa yang sejatinya bisa dijadikan motto dan mantra pembangun jiwa? Dalam literatur khazanah Islam klasik, pepatah-pepatah Arab ini dinamakan ilmu Mahfuzhat.

Penulis sendiri mengenal ilmu ini sewaktu mukim di sebuah pesantren salafiyyah di Bekasi. Dari segi bahasa [Arab], kata “mahfuzhat” berarti  “yang dihafal”. Karena itulah, metode belajarnya dengan cara dihafal secara berulang-ulang. Dulu, saya ingat, masing-masing santri maju ke depan kelas untuk dites seberapa banyak kalimat-kalimat indah tersebut bisa dihafal.

Kala itu, semula menghafal Mahfuzhat bagian dari keharusan, tapi --entah kenapa--  saya dan teman-teman lainnya menjadi suka ilmu yang satu ini, meski tidak serta merta memahami secara utuh kedalaman makna di tiap pepatahnya. Hal ini, agaknya,  lantaran struktur kalimatnya yang berima dan  indah hingga terasa asyik dan “catchy” di lidah.  Dahsyat. Luarbiasa.

Selain pepatah Man Jadda Wajada yang dipopulerkan novelis A. Fuadi, ada beberapa yang masih menggenang di benak penulis terkait Mahfuzhat.  Antara lain:

1.Man Saara ala ad-Darbi Washala. Artinya: Barangsiapa yang berjalan pada jalurnya, ia akan sampai.

2.Kalmu al-Lisan Anka min Kalmi as-Sinan. Artinya: Ucapan lidah itu lebih tajam ketimbang ujung tombak.

3.Aafatul ‘Ilmi An-Nisyaan. Artinya: Bencana ilmu adalah sifat lupa.

4.Innal Hayata ‘Aqidatun wa Jihadun. Artinya: Sesungguhnya hidup adalah keyakinan dan perjuangan.

5.Innamal ‘Ilmu bit-Ta’allumi. Artinya: Sesungguhnya ilmu itu dengan belajar.

6.Undzur Maa Qaala wa Laa Tandzur Man Qaala. Artinya: Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan.

Demikianlah. Di luar yang saya sebutkan, banyak sekali pepatah-pepatah Arab yang dihimpun dalam ilmu Mahfuzhat. Lalu, siapakah tokoh-tokoh yang-- bila ditelisik-- kok bisa yah merangkai ujaran-ujaran sederhana, nyastra, dan sekaligus sarat makna seperti itu?  Di sinilah titik kelemahannya: ada beberapa ujaran yang terlacak asal muasalnya, ada juga yang tidak. Ada pepatah Arab yang bisa ditelusuri latar belakang konteks sosio-historisnya hingga bisa sedemikian menggugah, ada juga yang tidak, dan kerap menjadi tanda tanya. Yang jelas, syahdan, Mahfuzhat dihimpun dari ucapan-ucapan para sahabat Nabi, tabi’in [orang yang hidup setelah sahabat Nabi dan tidak berjumpa dengannya], atau tokoh dan ulama dari zaman dahulu yang keilmuanya tidak diragukan lagi. Karenanya, menurut hemat penulis, bila menerapkan mantra Mahfuzhat untuk konteks kekinian, tentunya, ada yang masih  relevan dan ada juga yang tidak.  Semua terpulang pada cakrawala, pengalaman dan cara berpikir kita dalam memandang hidup. Bukankah masing-masing kita, acapkali, punya motto sendiri --baik bersumber dari literatur  Mahfuzhat atau pun tidak--  yang membuat kita merasa terinspirasi untuk menjadi lebih baik? Wallahu’alam bisshawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline