9 - 10 hari lagi pilkada DKI akan digelar. Pilkada yang memang harus diakui sebagai pilkada terheboh dalam gelaran pilkada serentak 2017 ini. Magnet Jakarta sebagai ibukota negara dan hadirnya ahok sebagai salah satu calon membuat pilkada DKI ini menarik diikuti oleh seluruh warga negara yang bahkan tidak punya hak memilih. Pilkada DKI sebagai "mini pilpres" di mana di sana hadir representatif dari kekuatan-kekuatan tokoh dan elit politik nasional. AHY-SIlvi sebagai representatif SBY, demokrat dan partai pendukung lainnya, BTP - Djarot sebagai representatif Megawati, PDIP dan partai pendukung lainnya serta ANies - Sandi sebagai representatif Prabowo, gerindra dan PKS.
Sejak awal kemunculan bakal cagub dan bakal cawagub DKI 1 - 2 tahun lalu, mau tidak mau diakui bahwa calon petahana BTP selalu mengungguli pooling dan survey politik dari beberapa lembaga survey, hal ini didasari dengan "penampakan" ahok yang tampil dengan "muka" berbeda dari para pejabat dan politikus pada umunya, di mana biasanya seorang pejabat atau politikus kebanyakan di depan publik akan berusaha menampilkan kesan sopan, santun, ramah dan merakyat, maka Ahok tampil dengan patron berbeda sebagai seorang pejabat yang celas ceplos melawan arus patron selama ini, tampil seolah-olah dialah pahlawan politik yang ditunggu selama ini guna melawan penyakit bangsa yang sudah kronis dan mengakar susah tercabut seperti korupsi, birokrasi yang amburadul, nepotisme dan lain-lain. Tampilan berbeda tersebut tak ayal menempatkan ahok sebagai calon yang seolah-olah hanya kematian saja yang bisa menggagalkan dirinya untuk menduduki kursi DKI 1 periode 2017 - 2022.
Tetapi, perlahan seiring dengan berjalannnya waktu satu persatu terbukalah sisi lain dari ahok. Berbagai kasusnya yang menjadi isue nasional tak ayal membuat pergeseran terjadi. Mulai dari isu RS Sumber Waras, reklamasi, pembelian lahan oleh pemda DKI dan terakhir isu sensitif tentang bagaimana kontranya seorang ahok terhadap penganut agama mayoritas di DKI dan Indonesia yaitu agama Islam. Ahok dengan statusnya sebagai tersangka penistaan agama dan terakhir kejadian di pengadilan bagaimana ahok dan tim kuasa hukumnya tampil menghardik seorang saksi yang notabene adalah seorang pemimpin ummat Islam yang sangat dihormati. Akibat ulah dan tingkahnya sendiri, ahok seolah menggali kuburannya sendiri.
Kembali ke judul "ahok, memang nomor 2", saya mencoba membaca peluang ahok dalam pilkada kali ini. Sempat melihat dalam salah satu acara di TV bagaimana seorang ruhut sitompul (timses ahok) dengan percaya diri mengatakan bahwa yakin ahok akan menang di pilkada DKI kali ini bahkan menang satu putaran , sampai saat ini ahok-djarot tetap memimpin elektabilitas dari 2 calon lainnya..ehehehe...saya kira boleh-boleh saja timses berbicara seperti itu tetapi juga jangan overconfident dengan posisi sebagai petahana dan hasil-hasil pooling awal yang mau tidak mau diakui ahok memang memimpin. Dari berbagai lembaga pooling saat ini bisa didapatkan hasil yang bervariasi, ada yang menempatkan calon 1 sebagai yang tertinggi, ada calon 2 dan calon 3.
Taruhlah Ahok-djarot memang nanti memperoleh suara terbanyak dalam pilkada putaran pertama tgl 15 Feb 2017 diikuti pasangan nomor 1 atau nomor 3, harus diingat bahwa pilkada DKI akan dilanjutkan ke putaran ke 2 jika tidak mendapat perolehan suara 50% + 1 (angka yg sulit untuk diperoleh pasangan manapun). Nah, ada pilkada putaran ke 2 inilah kekalahan akan didapat oleh ahok, kenapa? Harus disadari bahwa musuh bersama saat ini adalah pasangan ahok-djarot. partai pendukung dan massa pemilih pasangan calon nomor 1 atau nomor 3 akan lebih mudah mengalihkan dukungannya ke masing-masing pasangan tersebut di putaran kedua pilkada.
Akan sulit partai dan suara pendukung calon no. 1 dan no. 3 untuk mengalihkan dukungannya ke pasangan calon no. 2. Taruhlah misalnya ahok-jarot di putaran pertama memperoleh 40% suara pemilih (walaupun menurut saya hal ini juga tidak mungkin hehehe...), diikuti oleh pasangan no. 1 atau no. 3 dengan masing-masing 35% dan 25% suara pemilih, di putaran kedua pilkada...saya "HAQQUL YAQIN" suara pemilih pasangan calon no. 1 dan no. 3 yang 60% tersebut akan beralih mendukung salah satunya, kalaupun misalnya ada 5% yang beralih ke pasangan calon no. 2 maka pemenang pilkada DKI pun akan tetap salah satu dari pasangan calon no. 1 atau no. 3 dengan 55% perolehan suara pemilih.. Bagaimana, masuk akal kan, logis kan hitungan tersebut hehehe.....jadi rasanya memang sudah pasti bahwa pasangan calon no. 2 memang akhirnya nanti akan menjadi no. 2 di akhir drama pilkada ini..
Aamiin....
Salam
Wong Plembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H