Lihat ke Halaman Asli

Menakar Peluang Ahok Setelah “Blunder” Al-Maidah 51

Diperbarui: 17 Oktober 2016   13:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gegap gempita Pilgub DKI 2017 semakin menggema. Sudah jelasnya tiga pasang cagub sebagai representasi 3 tokoh bangsa yaitu Megawati dengan Ahok – Djarot, SBY dengan Agus – Silvi dan Prabowo dengan Anies – Sandi. Tiga tokoh di belakang masing-masing calon tersebut  mencerminkan tak ubahnya membuat pilgub DKI ini seperti “warming up” menjelang Pilpres 2019 nanti. Jakarta sebagai ibukota Negara merupakan barometer perpolitikan dan pusat demokrasi nasional.

Calon Petahana yang selama ini dianggap memiliki keunggulan dalam setiap Pilkada tak pelak membuat Ahok cagub digembar gemborkan akan mengungguli pasangaan calon lain. Dengan segala sepakterjang dan aksi kontroversialnya kepopuleran Ahok di DKI bahkan di Indonesia harus diakui sangat jauh mengungguli 2 pasangan calon lain. Tetapi apakah Ahok – Djarot akan melangkah mulus memenangkan pilkada nanti? Tunggu dulu, jangan dianggap remeh munculnya 2 pasang calon lainnya.

Seperti pernah saya ulas di tulisan saya sebelumnya yaitu : http://www.kompasiana.com/abd_latif/jadi-gubernur-nya-ahok-bukanlah-hasil-pilihan-rakyat-jakarta_56e62d91b49273430bddc7b9 bahwa langkah Ahok untuk meneruskan tahtanya akan menemui rintangan terjal, mengapa? Berikut beberapa ulasannya.

  • Ahok menjadi gubernur saat ini dengan memakai suara pemilih untuk Jokowi. Ahok sebagai gubernur saat ini bukanlah merupakan kemenangan suara yang memilihnya. Harus diingat kembali bahwa jadi gubernurnya Ahok adalah warisan Jokowi. Suara kemenangan Jokowi – Ahok sejumlah 2.472.130 suara pada putaran ke 2 pilkada DKI 2012 lalu bukanlah 100% suara untuk Ahok sebagai gubernur DKI tetapi itu adalah suara untuk Jokowi sebagai gubernur dan Ahok sebagai wakil gubernur DKI. Fenomena Jokowi saat itulah yang mengantarkan Jokowi – Ahok terpilih sebagai gubernur DKI saat itu yang selanjutnya diwariskan Jokowi kepada Ahok. Dari kronologis tersebut dapatlah disimpulkan bahwa terpilihnya Ahok sebagai gubernur DKI periode 2014 – 2017 bukan “murni” pilihan rakyat pemilih Jakarta, tetapi lebih merupakan “hadiah” dari terpilihnya Jokowi sebagai Presiden RI periode 2014 – 2019. Siapa yang dapat menjamin bahwa suara 2.472.130 tersebut akan memilih Ahok  kembali? Hehehe….sepertinya akan sulit bagi Ahok untuk menjaring 50% saja dari jumlah suara tersebut. Dengan jumlah Pemilih DKI saat ini yang berkisar 7.500.000 yang akan tersebar pada 3 pasangan cagub artinya paling tidak AHok – Djarot harus meyakinkan sekitar 30% dari total pemilih tersebut untuk lolos pada putaran pertama pilkada, itu saja akan sangat berat apalagi jika harus langsung terpilih dengan keunggulan suara 50% + 1 jumlah pemilih.
  • Elektabilitas Partai Pendukung AHok – Djarot. Partai pendukung Ahok yaitu Nasdem, Hanura, Golkar dan PDIP dengan segala sepakterjangnya di era Jokowi saat ini tidaklah terlalu menarik bagi massa pemilih. Nasdem adalah partai adem ayem tidak terlalu menggema aksinya untuk rakyat pemilih, kecuali hanya di met*otv hehehe…. Demikian juga dengan Hanura malah terkesan tenggelam. Golkar dengan kisruh kepengurusannya, terlebih dengan Setya Novanto dengan segala kontroversinya. Terakhir PDIP, yang dulu begitu dielukan sebagai partai wong cilik, perlu dipertanyakan jargonnya tersebut melihat kiprah kepemimpinan Jokowi yang merupakan kader PDIP saat ini dengan segala keluhan masyarakat bawah dengan kondisi ekonomi dan social yang dirasakan.
  • Etnis Ahok. Maaf, bukan bermaksud Rasis, tetapi mau tidak mau harus disadari bahwa etnis dan keyakinan Ahok adalah minoritas di DKI. Etnis tionghoa di DKI sekitar 600 ribuan. Tidak sampai 10% dari jumlah pemilih DKI, itupun jika 100% mereka memilihi Ahok, saya yakin tidak akan 100% suara etnis tionghoa tersebut secara bulat memilih Ahok.
  • Agama/Keyakinan Ahok. Begitupun dengan keyakinan Ahok (sekali lagi tidak bermksud menyinggung SARA). Kita ketahui mayoritas pemilih DKI adalah umat Islam, agama mayoritas yang juga dianut oleh 2 pasangan calon lain. Saya yakini jua bahwa mayoritas pemilih ini pasti akan memberikan suaranya ke pasangan seiman, walaupun disadari juga bahwa suara merekapun tidak akan bulat 100% juga memilih pasangan Anies – Sandi atau Agus – Silvi.
  • “Blunder” ALMAIDAH 51. Terakhir yang lagi hangat saat ini adalah kontroversial Ahok terkait pidatonya di kepulauan seribu yang menyinggung Ayat Suci Alquran surat Almaidah : 51. Dengan blunder tersebut Ahok seakan menggali kuburannya sendiri. Tak pelak hal tersebut membuat isi dari QS Almaidah 51 menjadi begitu popular. Mayoritas pemilih muslim DKI yang selama ini bisa jadi tidak/kurang mengenal ayat tersebut menjadi paham isi dari ayat tersebut. Belum lagi fanatisme agama yang berkobar pasca hebohnya pemberitaan tersebut. Bisa jadi ada bnayak pemilih muslim yang sebelumnya memilih Ahok akan beralih memberikan suaranya ke 2 pasangan calon lain yang muslim sebagai bentuk protes dari kontroversi yang dibuat Ahok tersebut.

Terakhir, saya bukanlah warga DKI. Hanya bisa berharap bahwa gelaran pilkada ini akan berlangsung aman dan mendapatkan pemimpin terbaik untuk DKI.

Dan titip pesan untuk warga DKI, pilihlah pemimpin yang terbaik, yang akan membawa kedamaian bagi warga DKI khususnya, pemimpin yang bisa menciptakan keamanan dan kenyamanan bukan pemimpin yang memicu perpecahan dan kekacauan apalagi pemimpin yang akan memicu kekacauan berbau SAR...Aamiin….

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline