BY: OEPHY WAJO
Awal agustus lalu, sejumlah tokoh nasional dan aktivis sosial berkumpul di Jalan Fatmawati Jakarta dalam sebuah deklarasi yang dinamai Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Deklarasi yang dimediasi oleh Din Syamsuddin serta beberapa tokoh kebangsaan seperti Rizal Ramli, Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Abdullah Himahua, Chusnul Mar’iyah dan lainnya itu meskipun belum fokus pada tahapan pembahasan inti, namun penjelasan beberapa sumber menyebutkan bahwa deklarasi ini adalah bagian dari gerakan moral (moral force) sejumlah elemen bangsa sebagai bentuk kritik terhadap kekuasaan pemerintahan presiden Joko Widodo yang didasari oleh keprihatinan atas berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa saat ini.
Said Didu misalnya, menyebutkan gerakan ini adalah bagian dari rasa kepedulian mereka terhadap sejumlah permasalahan yang paling fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah pada tahapan kritis serta mengkhawartirkan.
Menurutnya problem yang paling umum dialami saat ini adalah kondisi ekonomi menghadapi persoalan yang berat, keretakan kohesivitas sosial, penegakan hukum yang tidak adil dan cenderung berpihak pada kekuasaan, adanya politik oligarki kekuasaan yang dipraktekkan secara massif di berbagai tempat, isu SARA yang juga sering mengemuka dan sejumlah persoalan lainnya.
Hal ini menurut Didu, sudah terjadi pembelokan arah pengelolan bangsa yang sudah sangat jauh dari cita-cita luhur lahirnya Indonesia dari para pendiri republik ini (founding fathers), sehingga dibutuhkan peran serta anak bangsa untuk bertindak menyelamatkan negara ini. (Kompas, 3 Agusutus 2020)
Meski terbilang sebagai gerakan moral, tanggapan sinis bahkan ejekan terhadap deklarasi menyelamatkan bangsa ini mucul dari berbagai pihak. Sebut saja aktivis sosial seperti Denny Siregar, menilai bahwa deklarasi KAMI merupakan “barisan sakit hati” yang menunggu Pilpres 2024 bahkan dia menyebut mereka yang hadir di koalisi ini “berwajah penipu”. Begitu juga dengan politisi PDIP Ruhut Sitompul yang mengaku tertawa termehek-mehek karena deklarasi ini orangnya itu-itu saja yang selalu tidak heppy dengan kepemimpinan Presiden Jokowi. (Fajar.co.id, 4 Agustus 2020)
Sebelumnya beberapa antipati terhadap kritik pemerintah juga dilakukan oleh pihak tidak dikenal dalam bentuk ancaman dan teror kepada panitia dan narasumber yang hendak menggelar diskusi Constitutional Law Society oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bertajuk "Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan", sehingga diskusi ilmiah itu akhirnya batal digelar.
Bahkan selevel Menteri Koordinator Kemaritiman pun mempolisikan Said Didu karena mengkritik pemerintah dan pribadinya dengan sebutan sang menteri hanya “memikirkan uang, uang dan uang” ketimbang menyelamatkan Negara dari keterpurukan ekonomi akibat pandemic covid 19, dikatakan bahwa Didu telah menyerang privasinya yang menggap lebih menempatkan materi (uang) di atas kepentingan bangsa.
Beberapa gambaran kasuistik di atas merupakan bagian kecil dari uraian tentang rapuhnya pengakuan hak-hak sipil dalam kebebasan menyatakan pendapat dihadapan publik sebagaimana dijamin oleh konstitusi Negara. Padahal di usia kemerdekaan yang hampir seabad, semestinya semua elemen bangsa termasuk pemerintah sudah berada pada kematangan bernegara, termasuk menjungjung tinggi perbedaan pendapat serta menempatkan kritikan masyarakat sebagai kontrol sosial yang perlu diakomodir sebagi konsekuensi dari negera berdemokrasi.
Negara demokrasi tidak menganggap kritik sebagai wabah (pandemi) yang menularkan virus kejahatan dalam tata kelola kekuasaan, bukan pula menempatkan kritikus sebagaimana layaknya musuh (enemy) yang harus dilawan.