Ini tahun 2016 kawan! Tahun di mana ada belasan orang harus meregang nyawa karena antre mudik (bukan karena kecelakaan lho). Ini juga tahun di mana hasil audit BPK tentang Sumber Waras dimentahkan oleh KPK. Di tahun ini juga orang-orang sedunia, termasuk di Indonesia pada keranjingan Pokemon Go, sampai-sampai pihak kepresidenan melarang orang-orang berburu monster itu di lingkungan Istana Negara. Ini dunia sudah maju banget. Tahun ini juga ada Mendikbud yang peduli sama anak-anak yang baru pertama masuk sekolah supaya didampingi orang tuanya. Kenapa? Mungkin selama ini orang-orang tua terlalu sibuk dengan kemajuan dunianya, sampai soal pendidikan cukup diserahkan sama sekolah ya? Apa ini simbol kemakmuran, atau sebaliknya? Entahlah!
Tapi, di tengah-tengah itu semua, di pojok Nusantara ini sebenarnya masih banyak hal-hal yang memprihatinkan, termasuk kaitannya dengan pendidikan anak-anak negeri. Salah satunya di Dusun Pesawahan Desa Gunung Lurah dan Dusun Karanggondang Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Warganya tinggal di tengah-tengah kampung yang dikelilingi oleh hutan milik Perhutani Banyumas Barat. Listrik saja pakai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bantuan Pemprov Jateng, telepon apalagi. Sinyal HP juga jauh dari on, selalu byar-pett bahkan sangat sering bett-nya. Kalau mau cari sinyal harus kelilling kampung dulu.
Soal pendidikan, jangan tanya! Kalau mau sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, harus menempuh jarak yang sangat jauh dengan medan yang cukup berat. Belum lagi biaya pendidikan yang katanya gratis, tapi nyatanya kian mahal. Untuk masyarakat sekitar yang berjumlah 300-an warga yang mata pencahariannya hanya bertani dan berkebun tentu sangatlah berat untuk mengeluarkan ratusan ribu bahkan jutaan rupiah untuk 'daftar ulang' pas pertama hari sekolah dimulai. Tingkat pendidikan dan ekonomi warga kedua dusun yang masih rendah tak lepas dari faktor geografis, ekonomi, motivasi, dan pandangan hidup. Rata-rata warga Dusun Pesawahan adalah buruh penderes getah pinus dan kelapa yang tak lulus SD.
Sudah rahasia umum, meskipun katanya 'sekolah gratis' tapi tiap kali tahun ajaran baru, para wali murid haru merogoh kocek yang tidak sedikit. Untuk daftar ulang setingkat SMP/MTs tiap-tiap wali murid harus merogoh kocek antara 700 ribu hingga 3 juta rupiah untuk daftar ulang, entah itu sekolah negeri ataupun swasta. Untuk setingkat SMA/SMK/MA siap-siap saja menyiapkan dana mulai dari 1 juta hingga 8 juta rupiah. Apa iya? Itu kata tetangga yang sudah memasukkan sekolah ke tingkat lanjutan. Bahkan seorang tetangga terpaksa tidak jadi memasukkan anaknya ke SMK negeri karena daftar ulangnya sampai 6 juta rupiah, ia kemudian menyekolahkan anaknya ke SMK swasta yang cukup bayar 2 juta untuk daftar ulangnya. Mau geleng-geleng kepala? Boleh saja!
Nah, yang seperti itu tentunya tidak terjangkau oleh sebagian warga Pakis Gunung Lurah. Karena itu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, mereka cukup menyekolahkan anaknya di MTs Pakis Pesawahan, bahkan yang lain malah lebih memilih tidak melanjutkan sekolah. Kenapa MTS Pakis menjadi pilihan? Di sini tidak ribet, tidak harus mengeluarkan uang ratusan hingga jutaan rupiah. Tidak harus beli seragam, sekolahnya pakai pakaian bebas sesuai kemampuan masing-masing. Pendaftarannya pun cukup dengan membawa hasil bumi, mulai dari singkong, kelapa, pisang, jagung dan hasil bumi lainnya. Aneh atau memprihatinkan?
MTs Pakis muridnya tidak banyak, karena sekolah itu hanya menjadi tujuan anak-anak dari dua dusun terpencil, yaitu Pesawahan, Desa Gununglurah dan Karanggondang, Desa Sambirata. Untuk anak-anak dari dusun sebelah, jarak yang harus ditempuh saja mencapai 2 kilometer, jalan kaki menelusuri hutan pinus. Bayangkan! Muridnya pun tak banyak, angkatan pertama 13 anak, yang bertahan hanya 9 anak. Yang 4 keluar, ada yang menikah, kerja dan merantau. Angkatan kedua 9 anak, tapi hanya bertahan 4 anak, yang 5 keluar. Angkatan ketiga malah hanya ada satu anak, dan angkatan sekarang 9 anak.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Anak-anak laki-laki di sana biasanya memang lebih memilih merantau ketimbang sekolah, sementara yang perempuan nikah di usia muda. MTs Pakis adalah solusi untuk anak-anak setempat, tapi tradisi dan pola pikir yang sudah telanjur mengakar menjadikan lebih banyak anak yang memilih bekerja ketimbang sekolah, apalagi sekolah di luar daerah, misal ke pusat Kota Cilongok. Mereka (wali murid) pasti berpikir seribu kali, selain biaya sekolah yang mahal, untuk ojek sebulan saja tidak cukup uang 300 ribu rupiah.
Dengan bayaran hasil bumi, bagaimana MTs Pakis bisa beroperasi? Kata Kepala Sekolah, Isrodi, madrasah ini gurunya para sukarelawan seperti para mahasiswa yang ingin mengabdikan diri. Namun kondisi yang serba sulit juga mengakibatkan para sekarelawan tidak bisa bertahan lama di sini. Kalau ada yang bisa bertahan, karena yang bersangkutan telah memiliki usaha atau penghasilan yang mapan. Pak Anies Baswedan mesti baca artikel ini lho.. hehe..
Untuk mendapatkan murid para sukarelawan harus keliling kampung, membujuk anak yang baru tamat SD dan orang tua agar mau menyekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Para pengelola MTs Pakis tidak punya target yang muluk-muluk, mereka hanya menginginkan anak-anak setempat melek pendidikan, bisa mengakses pendidikan yang mudah, murah dan dekat. Pihaknya juga mengakui, dengan segala keterbatasan yang ada, sekolahnya tidak bisa dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain, apalagi yang ada di perkotaan di mana fasilitas pendidikan sudah mamadai dan terpenuhi. Lah di MTs Pakis tidak ada fasilitas apa-apa, kecuali pembelajaran seadanya mengarahkan para anak-anak petani menjadi petani yang sedikit lebih berpendidikan dan berwawasan. Lah, wong sekolah bayarannya cuma sama singkong kok!
Banyumas, 21 Jui 2016
Bacaan: smcetak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H