Lihat ke Halaman Asli

PPATK Siap Telusuri Dana 30 M untuk Teman Ahok

Diperbarui: 22 Juni 2016   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua PPATK Muhammad Yusuf (foto; kompas)

Issu aliran dana sebesar 30 milliar ke kantong teman Ahok terus bergulir setelah Junimart Girsang mengeksposenya di gedung dewan beberapa waktu yang lalu. Tak hanya KPK yang kabarnya tengah bergerak menelisik dugaan aliran dana tersebut. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun tengah ancang-ancang untuk bergerak, hanya tinggal menunggu “komando” dari lembaga antirasuah yang digawangi Agus Rahardjo ini.

Ketua PPATK M Yusuf mengatakan, pihaknya masih menunggu permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut dugaan aliran dana Rp 30 miliar ke Teman Ahok. Sebagai lembaga inteligen keuangan, PPATK bisa saja bergerak tanpa diminta pihak mana pun. Namun untuk dugaan kasus yang satu ini, masih menunggu permintaan KPK untuk mendetailkan asal aliran dana dan siapa yang mengalirkan dana tersebut. "Kami masih menunggu informasi dari KPK. Ini kan informasinya dari Pak Junimart (PDI-P). Apakah transaksinya by transfer atau by cash kan kami belum tahu," ujar Yusuf. (selengkapnya; kompas)

Ketua KPK Agus Raharjo sendiri menyebutkan bahwa informasi sudah ada. Tinggal memperdalam saja sebenarnya. Perkara ini mengemuka setelah KPK mengusut suap rancangan peraturan daerah DKI Jakarta tentang reklamasi. Kasus ini diduga melibatkan anggota staf ahli Ahok, Sunny Tanuwidjaja, yang sudah dicegah ke luar negeri karena terekam bercakap dengan Sugianto Kusuma, bos Agung Sedayu, pemilik lima pulau, dan Mohamad Sanusi, anggota DPRD DKI dari Gerindra sebagai penerima suap.

BPK dan PPATK berbeda. PPATKadalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). (sumber; wikipedia)

Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Pencucian Uang, penunjukan nama Kepala PPATK merupakan hak prerogatif Presiden. PPATK bertanggung jawab kepada Presiden RI, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun. Tapi yang sesungguhnya apakah PPATK terkontaminasi kepentingan politik tertentu atau tidak, publik tidak semuanya tahu.

Berbeda dengan BPK yang langsung dituduh oleh (sebagian) publik sebagai lembaga yang berisi orang-orang yang ditunggani kepentingan politik tertentu. Pada dasarnya, BPK masuk dalam kategori lembaga yang mandiri dan bebas, pernyataan ini tercantum dalam UUD 1945. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan tetap mempertimbangkan DPD dan kemudian diresmikan oleh Presiden. Nah dipilih oleh DPR inilah yang kemudian diindikasikan bahwa orang-orang BPK adalah titipan parpol tertentu. BPK sendiri merupakan lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

BPK ditunjuk oleh DPR, PPATK ditunjuk oleh Presiden. Wajar kalau kemudian muncul issu tidak sedap mengenai BPK. Kasus temuan BPK yang kemudian tidak dipakai oleh KPK seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama lembaga antirasuah itu. Kalau sekiranya hasil “penerawangan” KPK tidak ditemukan adanya indikasi aliran dana dari penembang reklamasi ke kantong Teman Ahok, sebaiknya KPK tidak perlu meminta PPATK untuk melakukan penyelidikan/analisa. Bukan apa-apa, takut kejadian BPK vs KPK terulang jadi nanti ada KPK vs PPATK, publik makin bingung mau ngikut yang mana hayoo? (Banyumas; 22 Juni 2016)

Bacaan; kompas, wiki, viva

Met Rehat Siang Semua!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline