[caption id="attachment_371417" align="aligncenter" width="499" caption="Karangan bunga duka cita simbol kematian KPK (foto; kompas)"][/caption]
Sungguh ironi Pernyataan yang keluar dari mulut seorang Plt Ketua KPK tunjukan Presdien Jokowi, Taufiequrachman Ruki yang menyatakan bahwa KPK kalah dalam kasus tersangka korupsi Komjen Budi Gunawan (BG), di mana KPK harus lelo-legowo melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung, dan kemungkinan dilanjut ke keplosian dan berakhir dengan keluarnya SP3. Tak hanya ironi, hal ini sekaligus sebagai pukulan telak terhadap upaya pemberantasan korupsi. KPK bukan hanya dilemahkan oleh para koruptor, bahkan KPK dilemahkan sendiri oleh sang ketua. Bukannya dengan tegas membabat lawan dengan golok, ehh malah “Pimpinan KPK Menggorok Leher Sendiri”.
Para pakar hukum, pengamat dan masyarakat luas menilai pelimpahan kasus oleh KPK kepada Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa lembaga antirasuah itu memang telah lumpuh, ibarat orang terkena struk dan “mati separo”. Padahal, KPK seharusnya bekerja sama dengan Kejagung dan Polri bukan hanya untuk kasus BG, melainkan juga untuk kasus-kasus lainnya. Kerja sama dan koordinasi antar-penegak hukum itu merupakan amanat undang-undang.
Pada tanggal 16 Februari 2015 penulis telah mengkhawatirkan bahwa sukses gugatan BG menuju pelemahan KPK secara sistemik. Namun kekhawatiran penulis dan kebanyakan orang nyaris terbantahkan karena akhirnya Jokowi mengambil jalan tengah dengan membatalkan pelantikan BG, menon-aktifkan pimpinan KPK dan mengangkat (Plt) pimpinan yang baru. Namun apa lacur, pimpinan baru KPK tak bisa diharapkan apalagi diandalkan, sehingga kekhawatiran itu nyaris menjadi kenyataan dengan adanya prosesi “gorok leher sendiri” oleh pimpinan KPK itu.
Tak hanya itu publik pun sepertinya mengkhawatirkan terjadinya pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan dihadapan hukum, sebab Ruki menjanjikan akan menyelesaikan 36 kasus lainnya. Moral Hukum ”Jangan-jangan ada tekanan kekuasaan yang luar biasa terhadap KPK dan Kejaksaan Agung untuk mengistimewakan BG. Dengan sumber daya yang lebih besar, prestasi pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung kalah telak dibandingkan KPK. Jumlah kasus yang ditangani dan jumlah aset negara yang diselamatkan KPK lebih banyak dibandingkan Kejaksaan Agung. Bagaimana mungkin KPK kini justru melimpahkan perkara kepada Kejaksaan Agung?,” kata peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded) Arif Susanto (baca; smcetak)
Anggota Wantimpres Hasyim Muzadi yang juga penasihat Tim Sukses Jokowi pada Pilpres 2014 ini pun ikut bicara. pelimpahan ini merupakan pelemahan KPK sehingga dia meminta Presiden Jokowi menjaga moral hukum. Hasyim mengatakan, seharusnya pelimpahan itu dilakukan setelah koordinasi ketiga instansi yakni KPK, Kejaksaan dan Polri selesai dilakukan. Koordinasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) yang berisi tentang pembagian tugas ketiga lembaga tersebut. (lihat; detik)
Kejaksaan merupakan bagian eksekutif, sementara KPK lembaga ad hoc yang tingkat independensinya lebih tinggi dari Kejaksaan. Di kepolisian ada SP3 dan deponeering (mengesampingkan perkara demi kepentingan umum), sedang di KPK ketika jadi tersangka sudah tidak ada SP3 lagi. Dalam masalah ini Presiden sebaiknya melakukan penguatan moral hukum terhadap KPK. Misalnya dengan melakukan langkah-langkah politik sebagai Kepala Negara.
Tak hanya praktisi hukum, pengamat dan masyarakat luas yang “berontak”, internal KPK sendiri pul bergolak. Para pegawa protes, tidak bisa menerima keputusan pimpinannya yang melimpahkan penyidikan kasus BG ke Kejaksaan Agung. Mereka bahkan sepakat memboikot aktivitas, mogok kerja selama beberapa jam. Seluruh pegawai KPK egas menolak putusan pimpinan KPK yang melimpahkan kasus BG ke Kejaksaan dan meminta kepada pimpinan KPK untuk mengajukan langkah hukum atas putusan praperadilan yang memenangkan BG, bukan malah melimpahkan ke kejaksaan.
Apa yang diputuskan pimpinan KPK merupakan bentuk kemunduran dari lembaga antikorupsi dalam menjalankan tugas, bukan mengembalikan marwah KPK yang tercabik-cabik malah menggorok leher sendiri. Anehnya, Ruki mengaku dirinya sudah mengetahui akan mendapat penolakan dari pihak internal dan juga pihak luar, terkait pelimpahan kasus BG ke Kejaksaan Agung. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh pegawai KPK merupakan hak mereka dan dirinya mengaku bagian dari pegawai yang tidak mau berpisah dengan mereka, bahkan Ruki pun ikut menandatangani petisi yang dibuat oleh para pegawai dalam bentangan kain putih. Ga mudeng ini orang maunya apa dan ada apa? Apakah Ruki di bawah tekanan berat pihak-pihak tertentu yang menginginkan BG lolos begitu saja? Entahlah..
ICW sangat kecewa dengan perristiwa “dagelan hukum” ini dan mengirimkan karangan bunga sebagai tanda duka cita. ICW berpendapat, dengan dilimpahkannya kasus tersebut sama artinya mebiarkan penyidikan itu berhenti. Tapi semuanya sudah terlanjut, bahkan makin runyam ketika Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengecam aksi itu. Tak hanya mengecam, Yuddy bahkan mengancam akan memberikan sanksi kepada pegawai KPK yang macam-macam. padahal di PP, keputusan tertinggi ada di pimpinan KPK, bukan di Menpan, sehingga Yuddy tidak memiliki kapasitas untuk memberikan sanksi kepada pegawai KPK yang ikut dalam aksi tersebut. (baca; detik)
Para mantan pimpinan KPK dan para pejabat tinggi KPK minus Antasari Azhar merasa dipecundangi dengan kejadian ini dan hari ini (Rabu, 4/3) berencana akan kumpul di KPK untuk mendiskusikan berbagai permasalahan, salah satunya soal kasus Komjen BG yang telah dilimpahkan ke Kejagung dan dari Kejagung tetap akan melimpahkan kasus BG ke Mabes Polri, dengan alasan kasus tersebut sebelumnya sudah pernah ditangani oleh Polri (sumber; kompas). Apa alasan itu tepat? Tepat atau pun tidak, sepertinya memang Pimpinan KPK tengah menggorok lehernya sendiri, dan kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi bukan? (Banyumas; 04 Maret 2015)