Lihat ke Halaman Asli

Jangan Salahkan Polisi Masuk Mushalla

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14171460511113334187

Aksi kejar-kejaran di dalam mushalla (poto; jpnn)

Kasus anggota kepolisian dari jajaran Polda Riau yang masuk ke sebuah mushalladi komplek RRI kota Pekanbaru dalam rangka membubarkan membubarkan aksi unjuk rasa mahasiswa Riau dalam menentang kedatangan Presiden Jokowi ke Lancang Kuning beberapa waktu lalu mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai pihak, ada yang pro dan kontra.

Pihak yang kontra menyesalkan bahkan menuduh polisi bersikap arogan, dan tidak mengindahkan etika dalam Islam untuk memasuki rumah ibadah. Dengan pakaian lengkap dan sepatu, para polisi yang bertugas untuk mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa Riau itu memasuki mushalla dan menginjak-injak sajadah yang ada di dalamnya. Bahkan ada sebuah pemberitaan yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an yang sebelumnya banyak tersusun rapi di dalam rak msuhola jatuh dan berserakan di lantai karena terjadi aksi kejar-kejaran di dalam ruangan tempat ibadah itu.

Ada lagi yang menyamakan peristiwa tersebut dengan kasus Tanjung Priok, di mana pasukan tentara menyerang jama’ah Amir Biki yang sedang berada di dalam mushalla dan mengakibatkan korban jiwa. Di tambah bumbu-bumbu lain yang dikaitkan dengan kepemimpinan Presiden Jokowi yang otoriter, diktator, intoleran dan cap-cap buruk lainnya.

RepublikaOnline menulis berita dengan judul : “Serang Mahasiswa dalam Mushala, Polisi Disamakan dengan Teroris Israel”.Dalam pemberitaan tersebut, antara lain menyuplik berbagai tweet di dunia maya seperti contoh berikut : @AntiLiberalNews menyebut, "Biadab Layaknya Teroris "Israel", Polisi Pukuli Mahasiswa Sampai Masuk Mushola". Sementara @eae18 "Jadi injak2 mushola itu sikap toleran ya karena para polisi itu mengamankan JKW. Oke deh. Makasih"; @dekrisky769 bahkan menyebut, "Aparat apa PKI......!!!@maspiyungan: [Injak-injak Mushola] MUI Riau: Polisi Harus Minta Maaf Kepada Umat Islam,".@kang_nugo "represif betul ni polisi era jokowi"

Sebegitukah? Benarkah polisi yang paling patut disalahkan dalam peristiwa ini? Kita semestinya melihat permasalahan ini tidak setengah-setengah. Jangan hanya melihat dari sisi polisi yang masuk ke dalam mushalla tanpa melepas alas kaki, tapi lihat pula bagaimana para mahasiswa yang demo itu masuk ke dalam, bagaimana pula para wartawan yang meliput itu masuk ke dalam. Apakah dalam posisi tergesa-gesa, para mahasiswa sempat melepas alas kaki? Apakah para wartawan yang takut kehilangan momen “apik” itu juga sempat melepas alas kaki?

Meskipun dari beberapa foto yang beredar di dinia maya, tidak terlihat mahasiswa yang berada di mushalla itu melepas alas kaki atau tidak. Namun kecil kemungkinan para mahasiswa yang tergesa-gesa karena dikejar polisi itu melepas alas kaki sebelum masuk ke dalam, demikian halnya para polisi yang “emosi” dan lekas ingin mendapatkan “buruannya” jelas tidak sempat melepas alas kaki. Dalam berbagai foto terlihat jelas para polisi itu tetap mengenakan alas kaki di dalam mushalla. Demikian halnya para juru kamera / wartawan yang meliput juga tidak sempat melepas alas kaki, sebab dengan melepas alas kaki terlebih dahulu para wartawan kemungkinan akan kehilangan moment “apik” yang seharusnya diabadikan.

Semua yang terlibat dalam kasus tersebut di atas secara etis salah semua, karena masing-masing hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya tanpa memperhatikan kepentingan publik (msuhala sebagai tempat publik). Para mahasiswa yang masuk ke mushalla hanya berpikir ingin menyelamatkan diri dari kejaran polisi dengan menjadikan mushalla (tempat ibadah) sebagai tempat perlindungan atau tepatnya tempat persembunyian. Jelas ini salah! Karena mushalla bukan tempat berlindung atau bersembunyi dari kejaran polisi, tentara, atapun aparat lainnya. Semua tahu dan paham bahwa mushalla adalah tempat untuk ibadah.

Para polisi yang masuk ke mushalla karena terpancing “emosi” atas kelakukan para mahasiswa pendemo juga salah! Se-anarkis apapun para mahasiswa itu dalam melakukan aksi demo, saat mereka sudah berada di dalam mushalla, kecil kemungkinan akan melakukan aksi anarkis lagi di lokasi tersebut. Jika para polisi bisa menahan diri, cukup lah menunggu di luar dan membujuk para mahasiswa dengan cara persuasif untuk keluar dari mushalla, pasti lah berita yang muncul akan berbeda. Polisi akan mendapat acungan jempol dan mahasiswa yang masuk ke mushalla (kemungkinan) tanpa melepas alas kaki dan masih menggunakan helm itu yang akan menjadi sasaran empuk berbagai media. Judul berita di Repbulika Online bisa jadi seperti ini : “Mahasiswa Masuk Mushalla Tanpa Lepas Alas Kaki Disamakan Dengan Teroris Israel”.

Para wartawan yang berburu berita dan foto-foto apik sama dengan para polisi, jika tetap bersabar menunggu di luar pun tetap punya kesempatan membidik moment penting itu. Justru dengan bersabar dan tidak tergesa-gesa, para wartawan bisa memotret siapa-siapa saja yang masuk ke dalam mushalla tanpa melepas alas kaki, dan siapa-siapa yang masuk dengan melepas alas kaki terlebih dahulu. Peristiwa di atas adalah buah dari ketidaksabaran semua pihak, mahasiswa, polisi dan wartawan.

Dalam hal ini, sepertinya semua dalam posisi yang salah! Soal siapa yang memiliki kesalahan terbesar, Anda bisa menilai sendiri dari sudut pandang “kacamata” yang tidak pecah atau buram. Yang jelas kita tidak bisa dengan “seenak udel sendiri” mengidentikkan mereka dengan teroris Israel, kasus Tanjung Priok dan tidak bisa pula menyalahkan Jokowi lalu membandingkannya andai saja presidennya adalah Prabowo Subijanto. (Banyumas; 28 Nopember 2014)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline