Hingar bingar Pilkada DKI memang sudah kita lewati. Tapi limbah konflik Pilkada DKI yang begitu berserak tidak begitu saja mudah disusun kembali menjadi harmoni. Bahkan setapak demi setapak, limbah konflik tersebut mulai didaur ulang ke dalam formasi konflik politik yang baru ditingkat elit dan kelas menengah kita.
Setelah Gubernur baru dilantik, kita sama-sama berharap, kondisi ini bisa menurunkan suhu politik negara kita, setelah semua dinamika politik yang sangat melelahkan ini. Sebab kita tidak tahu, apakah masih tersisa energi dan modal social kita untuk melanjutkan dinamika politik ini, bila ternyata dinamika politik dari perhelatan ini terus bereskalasi.
Disisi lain, kelas menengah kita, yang secara teoritis merupakan kunci tegaknya sistem demokrasi, sekarang kondisinya sudah cukup mengkhawatirkan. Mereka kini sudah terfregmentasi dan terpolarisasi ke dalam dua kubu yang masih terus saling menghujat dan menyalahkan satu sama lain.
Dalam kasus ini, kita tidak boleh tutup mata, bahwa polarisasi massa pasca Pilkada DKI lalu mulai membentuk patern budaya politik yang konfliktual. Semua isu politik, momen politik, dan agenda politik, selalu membelah opini masyarakat ke dalam dua kubu yang konfrontatif. Bahkan kini, pattern yang sama masih terus bereskalasi, dan membentuk konfigurasi yang sama di setiap isu politik dan even politik yang berlangsung di negara ini.
Padahal di tangan kelas menengahlah, modal sosial, kohesi sosial, dan nasib demokrasi kita di pertaruhkan. Dalam diskursus demokrasi, salah satu prasyarat tegaknya demokrasi adalah bila kelas menengah dalam suatu negara tumbuh. Merekalah yang disebut sebagai "civil society", kelompok suci pengawal altar demokrasi. Merekalah simpul kohesi sosial, sekaligus sebagai kelas yang paling bertanggungjawab dalam mengamankan modal sosial masyarakat.
Secara umum, modal sosial didefinisikan sebagai investasi dalam hubungan sosial yang diharapkan satu saat akan kembali. Nan Lin, dalam penelitiannya mengemukakan bahwa investasi yang dimaksud diharap dapat digunakan sebagai sarana memperkuat (reinforce) identitas sosial, dan pengakuan (recognition) atas eksistensinya (Nan Lin : 2001). Investasi ini bisa berupa toleransi, persatuan, dan kerjasama (baca: gotong royong).
Dalam perspektif yang lebih kompleks, modal sosial ini sangat beragam bentuk dan penafsirannya. Namun secara umum, para sosiolog sepakat bahwa modal sosial yang dimaksud adalah nilai dalam sebuah masyarakat yang menjadi esensi terjalinnya kohesi social, sekaligus menjadi identitas suatu masyarakat.
Terkait dengan apa yang sudah kita lewati selama masa kampanye Pilkada DKI lalu, hampir semua kita menyepakati, bahwa begitu banyak nilai yang merupakan modal sosial masyarakat kita menguap begitu saja. Satu persatu identitas bangsa kita mengalami erosi yang hebat.
Jangan tanya tentang semangat gotong royong yang menurut Bung Karno dianggap sebagai "amaliah bersama" seluruh elemen bangsa. Sekarang kita bahkan terbiasa curiga, menebar kebencian tanpa batas, dan bahkan menyebar berita bohong (hoax) untuk tujuan melampiaskan rasa benci itu. Kompetisi kita saling memangsa, dan demokrasi kita beda tipis dengan anarki.
Jangan tanya soal Bhineka Tunggal Ika, sedang segregasi sosial dan friksi antar kelompok kita pupuk hari demi hari. Kita bahkan tidak bisa memahami rasa ketersinggungan sesama anak bangsa, dan kita tidak bisa memahami permintaan maaf sebagai jalan damai rekonsiliasi. Masih bagitu banyak lagi nilai yang tercerabut, dan menjadi konsep yang rancuh selama konflik politik ini. Dan sekarang, modal sosial kita sudah sangat tipis, bahkan defisit luar biasa.
Persoalannya, sebentar lagi, kita masih akan menghadapi banyak lagi even politik seperti ini. Pada tahun 2018 kita akan kembali menghadapi Pilkada di 17 provinsi dan 154 Kabupaten/Kota. Diantara jumlah tersebut, terdapat banyak provinsi besar yang merupakan kantong suara nasional seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Tak kurang seperti Jakarta, di Provinsi-provinsi inipun diprediksi akan bertabur bintang politik tanah air. Dinamika perebutan pengaruh politik para elit di provinsi-provinsi besar inipun akan cukup keras, mengingat kemenangan di wilayah-wilayah strategis ini akan sangat menentukan seberapa kuat kuda-kuda politik mereka dalam menghadapi Pilpres dan Pemilu 2019.