Lihat ke Halaman Asli

Abby Crisma

Hamba Allah Biasa | Anak'e Ibu | Citizens

Januari 2023 Belum Kelar, Mari Meninjau Kembali Resolusi Tahun Baru

Diperbarui: 14 Januari 2023   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyusun resolusi tahun baru (photo by freestocks/pexels.com)

"It's never too late to change what you are, even though it takes a long time" -Erin Morgenstern 

Perubahan waktu memang berjalan cepat sekali. Tidak terasa, kini pun sudah menginjak akhir minggu kedua di tahun 2023. Sebelum melangkah lebih jauh, bagaimana dengan resolusi-resolusi kalian di tahun ini? Apakah kalian menyusun resolusi yang baru? Apa mungkin menata dan menggunakan ulang resolusi tahun lalu yang belum tercapai? Atau bahkan masih ada yang belum menyadari urgensi menyusun resolusi tahunan? 

Momen pergantian tahun menjadi waktu yang tepat untuk membuat resolusi. Pandangan tersebut direfleksikan dalam istilah New Year's Resolution atau Resolusi Tahun BaruTempo awal tahun dapat meningkatkan optimisme sebagian besar orang untuk berubah dan berkembang menjadi lebih baik. Mereka menganggap tahun yang baru bak lembaran-lembaran kosong, putih dan bersih, yang memberikan keleluasaan untuk menggaris perjalanan yang lebih sistematis, tanpa harus mengkhawatirkan goresan-goresan semrawut penyebab distraksi dan demotivasi. 

"Resolusi Tahun Baru merupakan suatu tradisi dimana seseorang berkomitmen terhadap dirinya untuk mempertahankan sesuatu yang baik dan mengubah hal-hal buruk yang tidak diinginkannya sejak dimulainya tahun yang baru"

Sejarah Resolusi Tahun Baru

Melansir dari History.com dalam artikel yang berjudul The History of New Year's Resolution, menjelaskan bahwa tradisi resolusi tahun baru diketahui sudah dilakukan sejak 4000 tahun lalu oleh penduduk Babilonia Kuno. Tradisi ini dilakukan bersamaan dengan perayaan besar mereka untuk menghomati tahun baru. Adapun tahun baru mereka tidak jatuh di bulan Januari, namun pada pertengahan Maret yang mana bertepatan dengan dimulainya musim tanam (titik balik musim semi). Dalam perayaan tersebut, penduduk Babilonia Kuno menegaskan kembali kesetiaannya terhadap raja dan berjanji kepada dewa untuk mengembalikan berbagai wujud pinjaman serta membayar segala jenis hutang. Apabila mereka amanah, dewa akan menyuguhkan nikmat kepada mereka selama setahun yang akan berjalan. Ikrar tersebut yang dicatat sebagai pelopor dari Resolusi Tahun Baru.

Tradisi serupa terjadi pada masa Romawi Kuno, tepat setelah raja reformatif, Julius Caesar, mencetuskan kalender Julian dan menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun baru pada 45 SM. Penamaan Januari sendiri merupakan penghormatan kepada dewa Janus. Dewa Janus digambarkan sebagai sosok yang memiliki dua wajah dan jiwanya diyakini sebagai penjaga pintu, yang merepresentasikan 'dewa dari segala permulaan'. Adapun kepemilikan dua wajah secara simbolis mengartikan bahwa Janus menjelma sebagai jalan tengah di antara dualitas, selayaknya waktu lampau dan masa depan. Oleh karenanya, setiap pergantian tahun, bangsa romawi melakukan persembahan sebagai wujud permohonan maaf atas kekeliruan di masa lalu dan perjanjian yang baik kepada dewa demi keberuntungan di masa yang akan datang.

Lumayan mirip seperti apa yang dialami oleh umat beragama pasca periode diatas. Bagi umat kristiani, terutama yang masih pemula, hari pertama tahun baru dimanfaatkan untuk merenungi kesalahan masa lalu dan bertekad menjadi lebih baik kedepannya. Sampai Pendeta Inggris, John Wesley, pada tahun 1970 menciptakan watch night service atau kebaktian jaga malam. Kegiatan tersebut memberikan kesempatan bagi umat kristiani untuk membuat pengakuan dan meninjau kembali peristiwa yang sudah dilalui, kemudian mempersiapkan untuk kehidupan di tahun selanjutnya. Kegiatan tersebut disertai dengan pembacaan kitab suci dan nyanyian rohani sebagai upaya perjuangan dalam ranah spiritiual.

Begitu juga dengan kaum muslim. Hanya saja, mereka tidak merayakannya secara seremonial. Tahun baru mereka juga berbeda karena menggunakan penanggalan Hijriyah. Setiap memasuki hari terakhir di bulan Dzulhijjah, kaum muslim dianjurkan untuk introspeksi (muhasabah) diri dan berdoa. Doa tersebut dikhususkan menjadi doa awal dan akhir tahun. Keduanya berisi permohonan taubat atas dosa yang dilakukan kaum muslim di sepanjang tahun yang telah berlalu dan berharap atas kelimpahan rahmat yang tidak pernah terputus dari Tuhan Yang Maha Esa.

"Renungan dan pengharapan oleh umat beragama inilah yang secara implisit menggambarkan suatu Resolusi Tahun Baru"

Resolusi Tahun Baru Sebatas Pemenuhan Kebutuhan Lahiriah? 

Terlepas dari akar tradisi yang religius, nyatanya dewasa kini, sebagian besar Resolusi Tahun Baru merupakan praktek sekuler. Tradisi ini sudah lazim bagi masyarakat dunia barat, sekalipun tidak sedikit juga ditemukan di negara-negara timur. Alih-alih memohon dan berjanji pada dewa atau Tuhan, kebanyakan mereka membuat resolusi hanya berfokus untuk pengembangan karir dan diri sendiri. Lalu, apakah hal seperti ini cukup baik?

Sebuah petuah religi pernah mengatakan, "Barangsiapa yang sekarang lebih baik daripada hari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang hari sekarang semakin buruk dari hari yang lalu maka dia terlaknat." 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline