Lagi. Bali memamerkan cara bertoleransi, cara saling menghargai antarumat beragama.
Saat perayaan Hari Raya Galungan, Rabu (1/2) sore lalu, Puri Gerenceng yang terletak di Jalan Dr. Soetomo, Denpasar, dipadati ratusan masyarakat Muslim. Mereka tampak gembira berbaur bersama keluarga puri dan umat Hindu di sekitar puri. Mereka merayakan Hari Raya Galungan bersama. Uniknya, pada hari raya umat Hindu itu, hiburan yang disajikan lebih banyak berupa kesenian yang ”berbau-bau” Islam seperti lagu-lagu kasidah. Lebih unik lagi, doa justru disampaikan oleh salah seorang tokoh umat Islam Denpasar, KH Burhanudin. Padahal tidak sedikit tokoh umat Hindu yang hadir saat itu.
Adalah Anak Agung Ngurah Agung, tokoh Puri Gerenceng, yang menjadi tuan rumah sekaligus pengundang. "Kami berkewajiban melestarikan tradisi nenek moyang," kata Ngurah Agung mengenai tujuan diadakannya acara di salah satu puri dari keturunan Arya Dhamar Palembang, cikal bakal Kerajaan Pemecutan, Badung, Bali. Puri adalah istana tradisional Bali tempat tinggal raja atau keluarga raja. Menurut Ketua Persaudaraan Hindu-Muslim Bali (PHMB) itu, merayakan galungan bersama-sama di Puri Gerenceng merupakan tradisi yang telah berkembang sejak lama. Karena itu pihaknya merasa berkewajiban melestarikan warisan tradisi itu.
Tak selesai pada pementasan kesenian dan doa oleh umat Islam di tengah hari raya umat Hindu. Makanan yang disajikan pun telah pula ”diislamkan”. Ada sajian nasi kebuli, ada pula sajian "lawar" sebagai makanan ”wajib” saat galungan. Hanya saja, lawar yang dihidangkan di Puri Gerenceng kali ini terbuat dari daging kambing. Biasanya, saat galungan, ”lawar” dibuat dari daging babi cincang dan diberi bumbu aneka. "Semua masakan yang kami sajikan ini halalan thoyyiban,” kata Anak Agung Ngurah Agung sambil ketawa.
Menurut kata Ketua Persaudaraan Hindu-Muslim Bali (PHMB) itu, acara galungana bersama umat Islam itu sudah menjadi tradisi keluarga besar Puri Gerenceng. "Kami ini hanya berkewajiban melestarikan tradisi nenek moyang," katanya sembari mengatakan, kegiatan itu sekaligus untuk mempererat tali silaturahmi antara umat Hindu di Bali dengan kaum muslim. "Kami yakin di Bali tidak akan ada perpecahan umat. Masyarakat Bali sadar, masyarakat yang datang dari daerah lain bermaksud mencari nafkah, bukan mencari persoalan," tambahnya Ngurah Agung.
Bali memang pantas menjadi guru bagi kebersamaan dan toleransi di Indonesia, bahkan dunia.
Tak mudah membangun kebersamaan ala Puri Gerenceng. Diperlukan pengorbanan besar dari semua pihak untuk mewujudkan tradisi seperti ini. Di satu sisi, masyarakat Hindu yang merayakan galungan tentu harus membuka dada sangat lebar untuk menerima kehadiran umat lain dalam sebuah perayaan keagamaan. Di sisi lain, umat Islam harus berani membuang keyakinan-keyakinan aneh yang ”mengharamkan” bentuk-bentuk interaksi sosial dengan umat lain seperti yang terjadi di Puri Gerenceng.
Kisah tentang toleransi beragama di Bali bukanlah cerita baru. Kita bisa menyaksikan betapa indah kebersamaan masyarakat keturunan Tionghoa yang beragama Budha di Kintamani dengan masyarakat asli yang beragama Hindu. Cerita keharmonisan itu dibadikan oleh sineas muda Dwitra J. Ariana dalam bentuk film dokumenter bertajuk ”lampion-lampion.” Film indah itu memenangi beberapa penghargaan di tingkat regional maupun nasional.
Itulah salah satu keistimewaan Bali. Itulah salah satu keindahan Bali. Itulah yang menjadikan Bali tak hendak terlupakan sebagai salah satu destinasi pariwisata. Masyarakat Bali sudah terlatih dengan sangat baik untuk menghormati perbedaan, bahkan mampu menjadikan perbedaan itu sebagai salah satu kekuatan kebudayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H