Lihat ke Halaman Asli

Sahur dan Keberkahannya

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SAHUR DAN KEBERKAHANNYA

Dirangkum dari kitab Ittihaful Aanam karya Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam

Dengan beberapa tambahan dan catatan oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy

-Semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahan keduanya-

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Bersahurlah kalian karena pada sahur terdapat berkah”. (HR Bukhory Muslim dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu)

Datang dua riwayat dalam hadits ini:

Pertama, riwayat dengan fathah (dibaca: sahuur) maksudnya adalah makanan yang dimakan. Yakni keberkahan pada makanan yang dimakan ketika sahur.

Kedua, riwayat dengan dhommah (dibaca: suhuur) maksudnya adalah amalannya. Yakni keberkahan pada proses makan di waktu sahar (menjelang shubuh).

Demikian juga salah seorang shohabat Rosululloh mengatakan: “Saya masuk kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sementara beliau sedang melakukan sahur. Beliau berkata:

إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللَّهُ إِيَّاهَا فَلَا تَدَعُوهُ

“Sesungguhnya ia adalah keberkahan yang Alloh berikan kepada kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya”. (HR An-Nasa’iy dengan sanad yang shohih)

Penampakan penyelisihan terhadap orang kafir secara umum adalah perkara yang dianjurkan dalam agama ini. Sahur adalah bentuk penyelisihan terhadap puasa ahlul kitab, dimana mereka tidak makan di waktu sahar dalam puasanya. Dari ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhu, sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب، أكلة السحر

“Beda antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab adalah makan di waktu sahar (menjelang shubuh)”. (HR Muslim)[1]

HUKUM SAHUR

Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Ibnul Mundzir di kitab “Al-Isyrof” mengatakan: “Umat ini telah ijma’ bahwasanya sahur adalah perkara yang dianjurkan, dicintai, dan tidak ada dosa bagi yan meninggalkannya”. [Al-Majmu’ 6/360]

Ibnu Qudamah Rahimahulloh mengatakan: “Kami tidak mengetahui di kalangan ulama terdapat perselisihan, yakni dalam hukum sunatnya”. [Al-Mughny 4/433]

MENGAKHIRKAN SAHUR

Disunatkan mengakhirkan sahur berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit Rodhiallohu ‘Anhu, beliau mengatakan: “Kami melakukan sahur bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian kami berdiri untuk melakukan sholat.

Anas bin Malik bertanya kepada Zaid: Berapa jarak antara azan dengan sahur?”. Zaid menjawab: “Kadar lima puluh ayat”. (HR Bukhory Muslim)

Syaikh Muhammad Hafizhohulloh mengatakan: “Yakni kadar yang kurang dari sepuluh menit”.[2]

Sahl bin Sa’ad Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Dahulu aku sahur di keluargaku, kemudian aku harus cepat-cepat agar bisa mendapatkan sholat shubuh bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. (HR Bukhory)

BATAS AKHIR WAKTU SAHUR

Dimaklumi bahwa akhir waktu sahur adalah awal masuknya waktu sholat shubuh yaitu ketika terbit fajar, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalil dalam masalah ini jelas, diantaranya firman Alloh Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر

“… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar”. (QS Al-Baqoroh 187)

‘Adi bin Hatim Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Wahai Rosululloh aku meletakkan di bawah bantalku dua ikatan, ikatan putih dan ikatan hitam yang dengannya aku mengetahui malam dan siang. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:

إن وسادتك لعريض، إنما هو سواد الليل، وبياض النهار

“Sesungguhnya bantalmu menghalanginya. (Yang dimaksud) hanyalah hitamnya malam dan putihnya siang”. (HR Bukhory-Muslim)

Yang ingin diingatkan dalam masalah ini adalah adanya pendapat yang lemah dari sebagian ulama terdahulu yang mengatakan bahwa sahur masih berlaku sampai cahaya putih menyebar di jalan-jalan, pasar-pasar dan rumah-rumah.

Dalil yang mungkin dibawakan dalam masalah ini adalah riwayat dari Zirr bin Hubaisy Rahimahulloh, beliau berkata:

تَسَحَّرْتُ ثُمَّ انْطَلَقْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَمَرَرْتُ بِمَنْزِلِ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَأَمَرَ بِلَقْحَةٍ فَحُلِبَتْ، وَبِقِدْرٍ فَسُخِّنَتْ، ثُمَّ قَالَ: ادْنُ فَكُلْ ، فَقُلْتُ: إِنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فَقَالَ: وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ ، فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا، ثُمَّ أَتَيْنَا الْمَسْجِدَ، فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، ثُمَّ قَالَ حُذَيْفَةُ: هَكَذَا فَعَلَ بِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قُلْتُ: أَبَعْدَ الصُّبْحِ؟ قَالَ: نَعَمْ، هُوَ الصُّبْحُ غَيْرَ أَنْ لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ

“Aku makan sahur, kemudian berangkat ke masjid. Lalu aku melewati rumah Hudzaifah Ibnul Yaman dan aku masuk. Maka dia menyuruh agar unta yang bunting diperah dan wajan dipanaskan. Kemudian dia berkata; “Mendekatlah dan makan”. Aku berkata: “Aku ingin puasa”. Dia berkata: “Aku juga ingin puasa”. Maka kami pun makan dan minum. Kemudian kami mendatangi masjid dan sholat maka iqomat ditegakkan. Kemudian Hudzifah berkata: “Demikianlah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkannya padaku”. Aku berkata: “Apakah setelah masuknya shubuh?”. Dia berkata: “Iya, waktu shubuh, hanya saja matahari belum terbit”. (HR Ahmad)

Dalam riwayat lain Zirr bin Hubaisy Rahimahulloh berkata:

حُذَيْفَةَ قَالَ: كَانَ بِلَالٌ يَأْتِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ ، وَإِنِّي لَأُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِي، قُلْتُ: أَبَعْدَ الصُّبْحِ؟ قَالَ: بَعْدَ الصُّبْحِ إِلَّا أَنَّهَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْس

“Hudzaifah berkata: “Dahulu Bilal mendatangi Nabi Shollalohu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau sedang melakukan sahur. Sungguh (ketika itu) aku bisa melihat tempat anak panahku”. Aku (Zirr) katakan: “Apakah setelah (masuknya) shubuh?”. Dia berkata “Setelah masuknya shubuh, hanya saja matahari belum terbit”. (HR Ahmad)

Namun kedua riwayat ini lemah. Keduanya adalah riwayat ‘Ashim bin Abin Najud dari Zirr bin Hubaiys. ‘Ashim menyendiri dalam mengangkat riwayat ini sampai ke Rosululloh, dan dia juga menyendiri dalam lafazh hadits: “Setelah masuknya shubuh, hanya saja matahari belum terbit”.

Selain dia masih ada dua orang lagi yang meriwayatkan hadits dari Zirr, yaitu ‘Adi bin Tsabit dan Shilah bin Zufar, keduanya lebih tsiqoh dibandingkan ‘Ashim. Keduanya menyandarkan kisah hanya sampai Hudzaifah dan tanpa tambahan: “Setelah masuknya shubuh, hanya saja matahari belum terbit”.

Imam An-Nasa’iy Rahimahulloh mengatakan: “Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyandarkan hadits ini sampai ke Rosululloh kecuali ‘Ashim. [Tuhfatul Asyrof 3/32]

Ibnu Muflih Rahimahulloh mengatakan: “‘Ashim, dalam haditsnya terdapat kegoncangan dan kemungkaran. Riwayat orang-orang yang lebih kokoh lebih utama”. [Al-Furu’ 3/70]

Al-Jauzaqony Rahimahulloh mengatakan: “Ini adalah hadits yang mungkar. Perkataan ‘Ashim: “Setelah masuknya shubuh, hanya saja matahari belum terbit”, adalah kesalahan darinya dan kekeliruan yang parah”. [Al-Abathil 2/105]

Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan: “Dan yang menambah kelemahan hadits ‘Ashim bin Abin Najud, bahwasanya ia menyelisihi firman-Nya Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر

“… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar”. (QS Al-Baqoroh 187)

Catatan: Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i Rahimahulloh mengatakan: “Diantara bid’ah yang mungkar di zaman ini adalah pengumandangan azan kedua sebelum terbit fajar sekitar sepertiga jam (dua puluh menit), serta mematikan lampu-lampu[3] yang dijadikan sebagai tanda tidak boleh makan dan minum bagi yang ingin berpuasa.

Mereka menyangka bahwasanya apa-apa yang mereka buat-buat adalah tindakan jaga-jaga dalam ibadah, dan tidak ada yang mengetahui alasan tersebut kecuali sebagian orang. Hal tersebut menyeret mereka untuk tidak melakukan azan kecuali setelah masuk waktu maghrib beberapa masa dengan alasan -menurut dugaan mereka- memastikan waktu.

Mereka mengakhirkan berbuka, mempercepat sahur, dan menyelisihi sunnah. Karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak pada mereka kejelekan, Allohul Musta’an. [Fathul Bary 1957]

سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Darul Hadits Dammaj- Yaman

28 Sya’ban 1434

[1] Pen: Tidak bisa dipahami bahwa orang yang tidak makan di waktu sahar alias makannya dilakukan di waktu malam, dikatakan bahwa dia tasyabbuh dengan ahlul kitab. Karena makan di waktu malam untuk puasa bukanlah kekhususan mereka, namun hal tersebut juga dibolehkan untuk umat ini. Tasyabbuh hanyalah terjadi pada perkara yang menjadi kekhususan mereka. [Lihat lagi beda antara tasyabbuh dan tindak penyelisihan terhadap orang kafir di artikel “Wajibkah Memakai Sirwal Dengan Sarung”.]

[2] Pen: Ini menunjukkan pentingnya bagi seorang muslim untuk mengetahui masuknya waktu sholat dengan pasti (yaitu melihat fajar), bukan sekedar perhitungan dengan rumus, atau menyerahkan azan kepada orang-orang yang tidak konsisten mengumandangkan azan tepat pada waktunya. Hadits ini juga menunjukkan bid’ahnya apa yang diistilahkan kebanyakan muslimin dengan nama imsak.

[3] Pen: Adapun di zaman kita dengan sirine.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline