Malam itu cuaca masih terlihat normal. Semua orang beraktivitas seperti biasa di bibir Pantai. Namun siapa sangka menjelang tengah malam, Tsunami tiba-tiba meluluhlantakan daerah sekitar Pandeglang Banten dan Lampung Selatan.
Kejadian tak terduga dan langka karena berasal dari longsoran vulkanik tersebut menjadi pengingat bahwa negara Indonesia memiliki potensi beragam jenis bencana alam yang menyebar di seluruh wilayah. Tak tanggung-tanggung, potensi risiko tersebut memiliki tingkat intensitas dan dampak kerugian yang masif.
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam jenis bencana alam yang menyebar di seluruh wilayahnya, dengan intensitas kejadian yang tinggi dan dampak kerugian yang masif. Indonesia termasuk dalam daftar 35 negara yang mempunyai risiko tinggi jatuhnya korban jiwa akibat berbagai jenis bencana alam.
Untuk itu, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan melakukan upaya persiapan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
"Belanja Pemerintah Pusat dalam APBN 2019 sebesar Rp1.634 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp855,4 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp778,9 triliun.
Selain itu, untuk mengantisipasi kebutuhan dana bagi kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana alam akan dibentuk pooling fund bencana yang bersumber dari APBN," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Konferensi Pers APBN 2019 beberapa waktu lalu.
Reformasi Kebijakan Pembiayaan Bencana
Nilai kerugian ekonomi akibat bencana besar tercatat sangat tinggi. Menurut data dari Nota Keuangan APBN 2019, gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias pada tahun 2004 mampu menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp41,4 triliun.
Namun, Bank Dunia memperkirakan nilai kerugian tersebut hanya merepresentasikan 60 persen dari nilai kerugian secara riil.
Kerugian ekonomi yang besar tersebut disebabkan antara lain oleh kualitas infrastruktur yang belum ramah bencana dan kebijakan pembiayaan bencana yang hanya terfokus pada pembiayaan pascabencana. Sementara kebijakan dan instrumen mitigasi dan transfer risiko masih sangat terbatas.
Menurut Kunta W.D. Nugraha, Direktur Penyusunan APBN (PAPBN) Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), APBN sendiri memang memiliki keterbatasan dalam pendanaan bencana.
Selama 12 tahun terakhir, alokasi APBN untuk Dana Cadangan Bencana rata-rata sekitar Rp4 triliun s.d Rp5 triliun per tahunnya. Di sisi lain, di masa tidak terjadi bencana katastropik, dana cadangan bencana belum termanfaatkan secara optimal.
Menghadapi tantangan ini, Pemerintah berencana melakukan reformasi kebijakan pembiayaan risiko bencana dalam rangka meningkatkan ketangguhan Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta meningkatkan kemampuan untuk membangun kembali dengan lebih baik.
"Ke depannya kita juga sudah mulai memikirkan bagaimana kita bisa mengatasi bencana tadi dengan lebih teroganisir dan teratur tapi bebannya tidak semuanya melalui APBN," jelas Kunta.
Reformasi ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan bencana dalam jumlah besar, tepat waktu dan sasaran, lebih terencana, berkelanjutan dan transparan untuk mengurangi kerugian ekonomi dan beban APBN.