Laut China Selatan merupakan kawasan konflik sejak tahun 1947 dimana China “nine-dash line yang menunjukkan klaim China atas hampir seluruh Laut China Selatan (LCS). Hal ini ditambah dengan Perjanjian San Fracisco 1951 yang melepaskan wilayah kependudukan Jepang, termasuk kepulauan Spratly dan Paracel. Lebih lanjut, sejak penemuan Cadangan minyak besar-besaran pada 1970-an, negara-negara yang bersinggungan dengan Laut China Selatan semakin memanas, seperti China, filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam (CNN Indonesia, 2022).
LCS memiliki nilai strategis karena merupakan koridor maritim yang kaya akan sumber daya alam, seperti minyak dan gas alam (CNN Indonesia, 2022). Selain itu, jalur perairan ini juga penting untuk perdagangan internasional dan keamanan regional. Negara-negara yang berkepentingan di LCS berusaha memperkuat klaim mereka melalui berbagai cara, termasuk pembangunan infrastruktur militer dan penempatan personel di pulau-pulau terdekat.
Oleh karena itu, hal ini akan berdampak ke kedaulatan negara-negara yang bersinggungan, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan dampak konflik LCS terhadap Kedaulatan Indonesia menjadi sangat penting. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat umum akan pentingnya kedaulatan, serta upaya untuk memberikan solusi dalam mengatasi eskalasi konflik.
Dalam menganalisis konflik LCS ini, saya akan menggunakan konsep Interdependensi dari teori Neo-Liberal Institutionalism. Teori Neo-Liberal Institutionalism merupakan pendekatan teoritis yang menekankan peran institusi internasional dalam mengelola konflik dan kerjasama antarnegara.
Sedangkan konsep Interdependensi adalah konsep saling ketergantungan yang menggambarkan hubungan timbal balik antara dua atau lebih entitas di mana satu entitas memengaruhi atau bergantung pada entitas lainnya. Relevansi dengan konflik ini adalah konflik ini membutuhkan kerjasama antar negara dikarenakan negara-negara ini saling membutuhkan untuk mengatasi konflik yang sama (Milner & Moravcsik, 2009).
Indonesia harus secepatnya turut aktif dalam penyelesaian sengketa di LCS ini. Hal ini dikarenakan ketegangan di wilayah ini berpotensi mengganggu arus barang dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga menjaga stabilitas jalur maritim menjadi prioritas utama untuk memastikan perdagangan berjalan lancar. Ketidakstabilan di LCS juga mempengaruhi kepercayaan investor dan mengurangi investasi langsung asing, serta berdampak pada pembangunan infrastruktur dan industri maritim Indonesia (Nurdiansyah, 2024).
Selain itu, konflik ini juga berdampak pada sektor keamanan Indonesia. Klaim teritorial di LCS telah memicu ketegangan militer antara negara-negara yang bersengketa, termasuk peningkatan pengeluaran pertahanan untuk menghadapi ancaman di wilayah ini. Indonesia harus memastikan keamanan wilayah perbatasannya dan mengantisipasi potensi konflik bersenjata.
Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia perlu memperkuat kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan mitra strategis lainnya untuk menjaga stabilitas dan mengatasi ancaman keamanan di LCS. Dalam hal ini, penulis menganggap Malaysia sebagai mitra potensial yang cukup efektif dalam peredaan eskalasi konflik di LCS dengan posisi Malaysia sebagai ketua ASEAN pada 2025 mendatang (Nurdiansyah, 2024).
Malaysia, yang akan menjadi ketua ASEAN 2025 merupakan negara potensial untuk kerjasama dengan Indonesia perihal konflik LCS. Dalam posisi ini, Malaysia dapat memanfaatkan platform multilateral untuk mengatasi permasalahan regional, termasuk konflik LC. Dengan posisi Malaysia yang netral terhadap persaingan AS China, serta hubungan diplomatik yang cenderung baik dengan China membuat Indonesia memiliki banyak opsi kerjasama antara kedua negara, lalu menyebarkannya di kawasan ASEAN. Selain itu, posisi Malaysia sebagai salah satu mitra dagang dan investor terbesar Indonesia turut menjadi faktor yang menguntungkan bagi Indonesia (Kee, 2024).
Bentuk kerjasama ini berupa patroli maritim bersama serta inisiasi dialog diplomasi. Patroli bersama antara Indonesia dan Malaysia di Laut China Selatan (LCS) akan meningkatkan keamanan dengan memperkuat kehadiran militer dan mengurangi risiko insiden yang dapat memicu eskalasi konflik. Koordinasi antara angkatan laut kedua negara akan memastikan pemantauan yang lebih baik terhadap aktivitas ilegal, seperti penangkapan ikan secara ilegal dan pelanggaran territorial (Wiyoga, 2023).
Selain itu, patroli bersama ini akan memperkuat hubungan bilateral dan membangun kepercayaan antara Indonesia dan Malaysia, memungkinkan kedua negara untuk berbagi intelijen, teknologi, dan pengalaman dalam menghadapi tantangan maritim, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih aman dan stabil di wilayah LCS dan berimbas pada kedaulatan Indonesia yang semakin kokoh.