Lihat ke Halaman Asli

Diskursus Power Paradigma dan Wisdom Paradigma

Diperbarui: 11 Juli 2017   17:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika seorang rakyat jelata bersinggungan dengan seorang aparatur pemerintahan/pejabat, maka terlontar makian atau cacian, ditambah dengan ucapan yang tak berfaedah "anda tidak tahu siapa saya?". Rakyat lalu kebingungan siapa dia ? jika si rakyat tak tahu, "andakah seperti saya ?" Manusia, sama-sama manusia . Namun jawaban yang diinginkan bukanlah seperti ini. Tetapi apa jabatannya, dan apa kekuasaannya. Dia tidak peduli dengan apa yang baru terjadi. Dia orang kuat punya kekuasaan dan wewenang lebih seakan-akan kebal hukum. Dan dengan kekuatannya dan kekuasaannya, ia menjadi hakim yang menghakimi rakyat.

Relasi seperti ini masih banyak kita temukan terutama pada masyarakat pinggiran (masyarakat meeearginal). Relasi demikian menggambarkan kecenderungan-kecenderungan untuk menggunakan kekuatan,kekuasaan,jabatan, ataupun wewenangnya untuk menonjolkan diri diatas rata-rata manusia kebanyakan. Relasi demikian seakan-akan tidak peduli akan teori kesetaraan manusia , atau supremasi kebenaran. Orang yang demikian dalam kepalanya adalah kekuatan dan kekuasaan saja. Dan ujung lain dari relasi ini adalah kekalahan atau mengaku kalah.

Bentuk relasi demikianlah yang dimaksud dengan Power Paradigma yaitu suatu bentuk pemikiran dan pemahaman tentang hidup yang mengagungkan pendekatan kekuasaan atau kekuatan (power approach). Hidup yang bernilai dan berarti adalah hidup sebagai orang kuat yang berkuasa, atau berdampingan dengan orang kuat, atau sekelompok dengan orang kuat/berkuasa. Orang demikian dalam memecahkan persoalan selalu mengandalkan kekuasaan atau kekuatannya. Paradigma ini merupakan produk warisan kolonial yang belum kita bebaskan.

Sebagaimana fakta sejarah menceritakan, kolonial Belanda datang untuk menjajah (bukan sekedar dagang). Dan relasi yang terbangun antara penjajah dan masyarakat pribumi adalah kekuasaan. Dan penindasan adalah sebagai pasangannya. Seiring dengan beberapa/sebagian pribumi mendapatkan kesempatan dan tertular virus penindas dari penjajah belanda. Ditangan mereka ada sedikit power yang diperoleh dari kolonial. Dengan power inilah mereka menindas pribumi lain yang belum mendapatkan Power.

Paradigma demikian merupakan satu dari sekian banyak warisan kolonial yang tidak dapat terbebaskan saat Indonesia di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Karena hingga lahirnya reformasi masih tetap bersemayam.

Di era informasi sekarang, hendaknya power paradigma ini digeser dan diganti dengan paradigma lain yang demokratis dan martabati. Paradigma yang dapat membebaskan dan memulihkan nilai-nilai perikemanusiaan, paradigma yang lebih mementingkan rasa keadilan dan nilai kebenaran sebagai sumber acuan dan pandangan hidup. Paradigma demikian dapat menjamin terciptanya kondisi/iklim kehidupan yang sehat dimana setiap individu bebas mengembangkan potensi dirinya.

Paradigma demikan adalah wisdom paradigma, yakni bentuk kerangka pemikiran dan pandangan tentang hidup yang berdasarkan kepada kebenaran dan pencarian terhadap kebenaran tersebut terselenggara secara manusiawi dan bijaksana.

Beberapa unsur dari wisdom paradigma, Pertama semangat mencari kebenaran yang didasari dengan rasa cinta terhadapnya. Ia tidak terburu-buru mengklaim yang ia pahami sebagai kebenaran tetapi memberikan peluang bagi perubahan dan hadirnya konsep baru yang lain karena mungkin lebih benar. Dan setiap orang punya peluang yang sama untuk mencari, memperoleh dan mengemukakan kebenaran tanpa yang lainnya merasa terhalangi atau terganggu. Kedua sikap demikian melahirkan keadilan dimana kecenderungan diri/keegoisannya menurun oleh objektifikasinya. Ia melihat persoalan berdasarkan pada tempatnya, bukan sesuai kacamata pribadinya saja. Ketiga membangun relasi win-win solution, ini merupakan refleksi dari pandangan manusia adalah sama, sehingga mesti diposisikan secara sama tanpa merendahkan manusia yang lainnya. Relasi ini mencakup kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kemasyarakatan.

Dalam kasus perbedaan pendapat atau aliran, maka tidak mesti salah satunya dinegasikan atau kalah. Tetapi dapat eksis pada alam pemikirian yang memahami dan menganutnya serta pada limit tertentu pula, keempat sikap demikian melahirkan toleransi yang tetap memberikan ruang bagi perbedaan. Berbeda namun tidak terpisah.

Paradigma tersebut tidak harus dihubungkan secara kontradiktif dengan Power Paradigma yang dijelaskan sebelumnya, sehingga menafikkan hadirnya kekuasaan, kekuatan dan pengaruh. Tetapi Wisdom Paradigma justru dijadikan landasan sebagai lahirnya pengaruh, kekuatan, dan kekuasaan sehingga tetap dijiwai oleh nilai-nilai kebijaksanaan dan kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline