Lihat ke Halaman Asli

Meninggalkan Grup WA Demi Menjaga Pertemanan

Diperbarui: 28 November 2016   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir semua orang, utamanya yang punya smartphone, tentulah tidak asing lagi dengan aplikasi WhatsApp.

Itu lo, aplikasi yang popular karena selain dapat  berkirim teks, juga bisa berkirim gambar dan bahkan video pendek.

Nah, semenjak tahun 2013 , saya diundang oleh teman teman untuk ikut grup WA alumni SMA . Dan saya pun masuk dan ikut aktif didalamnya. 

Saya kebetulan diangkat menjadi Ketua di kumpulan alumni tadi.  Sejak adanya grup WA ( juga BBM  saat itu ), maka semakin banyak teman teman lama yang tadinya tidak terdengar kabar beritanya, akhirnya masuk bergabung.

 Lalu, datanglah pemilu 2014.....

Beberapa teman, mulai memasukkan , entah tulisan maupun gambar yang isinya memojokkan calon saat itu, baik no 1 maupun no 2. Akhirnya, saya mengeluarkan kebijakan, bahwa silahkan anggota di grup itu menyatakan secara terbuka, mau pilih no 1 atau no 2.   Dan masing masing silahkan jika mau berkampanye untuk jagonya, tanpa harus ada yang marah secara pribadi. Dan saya membuat aturan, jika grup pendukung no 1 menang, maka grup pendukung no2 harus rela mentraktir makan semua anggota grup. Demikian juga sebaliknya.

Kesepakatan pun tercapai, bahwa setelah pengumuman pemenang hasil Quick Count, semua diundang di restoran favorit kami jaman dulu, yakni di Tizzi s . Sebelum lupa, kita kita ini alumni SMA favorit lho di Bandung haha.

Maka, suasana dalam grup pun menjadi seru dan ramai. Jika pendukung no 1 membuat meme memojokkan no 2, terus dibalas lagi. Tetapi semua dilandasi rasa persaudaraan dan malah dijadikan humor.  Yang paling asik adalah, saya bersahabat dengan seorang teman, sejak dari SMA sebangku dan masuk Fakultas yang sama  pula. Setelah menikah dan sibuk masing masing, bertemu lagi dalam grup WA ini. 

Dan dia, pendukung berat no 1, sedangkan saya simpatisan no 2 haha. Karena sudah tidak ada " baper " lagi dalam pertemanan, seringkali kata kata dia , kalau diukur oleh kacamata orang lain, akan terasa sangat menyakitkan. Juga saya balas dengan nggak kalah. Ini semuanya cerita di sosmed, ya. Bukan di darat .

Akhirnya, saat coblosan pun tiba, dan hasil Quick Count menyatakan no 2 lah yang menang.  Seminggu kemudian, kita semua berkumpul " merayakan" kebersamaan , makan makan dengan pihak pecundang yang harus traktir haha. Semua happy, nggak ada yang keki, siapa tahu sih dalam hatinya .......

Tahun berganti, masuk 2015. Saya berhenti jadi Ketua, diganti teman lain. tapi saya masih ada di grup. Habis pemilu, temanya menjadi lain. Banyak teman yang mulai membahas agama di grup.  Saya mulai ogah ogahan ikut join lagi, karena , saya tahu persis di dalam grup ini tidak semuanya muslim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline