Lihat ke Halaman Asli

Melawan UBER dengan Sehat

Diperbarui: 6 Juli 2015   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kemarin saya naik taksi GR di kota Bandung. Dari omong omong dengan sang supir, dia  bercerita bahwa selama bulan puasa ini merupakan bulan yang selalu menjadi bulan penuh derita untuk para supir. jangankan bisa membawa uang lebih, kebanyakan sih mereka nombok setoran karena tidak terkejar. Dan ini terjadi sudah rutin , setiap bulan puasa. Kalau menurut mereka, penurunan penumpang pada bulan puasa logis terjadi karena memang orang mengurangi bepergian, dan juga orang menghemat uangnya untuk menghadapi lebaran. Hal lain yang ternyata membuat pendapatan supir taksi menurun adalah ditutupnya tempat hiburan malam  selama Ramadhan.....Sekedar menambah informasi, dia harus mendapatkan uang diatas Rp 480 ribu perhari nya ( untuk setoran dan bbm ). Jika dibawah itu, artinya dia harus nombok...

Sampai dirumah, ongkos taksi yang tertera di argo adalah Rp. 35.000 dari Tamansari ke Antapani. Singkatnya saya berikan saja pecahan 50 ribuan tanpa kembalian, 

Terbayang oleh saya, sebagian penumpang taksi dia sebenarnya secara tidak dia tahu, telah berpaling menggunakan jenis angkutan yang namanya UBER ( seperti saya cerita di postingan terdahulu......)

Mendengar cerita bung supir, dan membayangkan alangkah susahnya dia apabila dimasa yang akan datang penumpangnya diluar bulan puasa juga akan berkurang karena bertambahnya " taksi UBER " di Bandung, saya ingin sekedar menuliskan apa yang ada di pikiran saya, agar mereka tetap survive tanpa harus membunuh UBER seperti yang dilakukan oleh induk organisasinya yakni Organda.

1. Asosiasi taksi se Indonesia harus bersatu, dan bersama sama membuat aplikasi yang persis sama dengan UBER.

Banyak para developer kita yang sudah bisa membuat aplikasi mobile seperti UBER, contohnya ya GO JEK itu kan buatan anak Indonesia.  Bikin saja , duitnya kan bisa gotong royong . Apalagi aplikasi ini hanya berfungsi untuk mempertemukan si pengemudi dengan calon penumpang, tetapi urusan tarif tetap bergantung dari argometer pada taksinya. jadi akan lebih mudah pembuatannya.

2. Berikan smartphone ( bisa dicicil ) kepada setiap pengemudi taksi yang sudah dilatih menggunakan aplikasi tersebut, sama seperti yang dilakukan oleh UBER kepada pengemudinya.

3. Hilangkan batas minimum pembayaran yang memberatkan itu.

Pada sebagian taksi di Bandung, ada aturan bahwa setiap kali  naik, baik itu melalui panggilan telpon atau pun walk in ( melambaikan tangan atau naik dari pangkalan taksi ) ada tarif minimum yang harus dibayar. Contohnya, untuk taksi GR sekali naik tarif minimumnya Rp 25.000 . Jadi meskipun di argo tertera Rp 15.000 kita tetap harus membayar Rp 25.000. Dan itu tidak berlaku jika kita naik UBER. meskipun tertera Rp 8.000 ya segitu saja kartu kredit kita akan di debit.

4. Armada taksi yang sudah tua harus diremajakan.

Jika UBER menggunakan tipe SUV dengan tahun pembuatan minimal 5 tahun terakhir, maka taksi pun harus mebuat armadanya selalu fresh. Jika sudah lima tahun, ganti dengan yang baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline