Manusia seringkali terjebak dalam jalinan yang mereka ciptakan sendiri, percaya bahwa jalinan tersebut adalah penentu kebahagiaan dan keberadaan mereka. Pernikahan, salah satu institusi tertua manusia, sering kali dianggap sebagai takdir yang tidak boleh disangkal. Namun, di balik janji-janji dan ikatan yang dibuat di altar, tersembunyi realitas bahwa tidak semua persatuan itu abadi, dan beberapa bahkan seharusnya tidak berlanjut.
Pernikahan yang sejak awal ditandai oleh ketidakcocokan dan ketidakseimbangan, adalah penderitaan yang tersembunyi di balik senyuman dan tawa palsu. Ketika dua jiwa terus-menerus bertabrakan alih-alih bergandengan tangan, waktu menjadi saksi bisu dari penderitaan yang terukir dalam setiap hari yang berlalu. Dalam kerangka eksistensialisme, manusia harus menyadari kebebasan mereka untuk memilih dan mengambil tanggung jawab atas pilihan tersebut. Terkadang, pilihan terbaik adalah mengakhiri sesuatu yang telah kehilangan esensinya.
Dalam kacamata filsafat Stoisisme, seseorang harus memahami dan menerima apa yang berada dalam kendali mereka dan apa yang tidak. Emosi yang meledak-ledak, keputusasaan, dan ketidakbahagiaan yang timbul dari pernikahan yang sudah tidak sejalan, adalah bukti nyata bahwa kebijaksanaan terletak pada penerimaan bahwa tidak semua ikatan harus dipertahankan. Kehidupan ini singkat, dan memeluk penderitaan hanya karena takut akan stigma sosial atau dogma agama, adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Pernikahan yang hampa adalah refleksi dari kehidupan yang diisi dengan kepalsuan. Dalam pemikiran Nietzsche, kehampaan dan kepalsuan tersebut adalah musuh dari Will to Power -- kehendak untuk mencapai potensi maksimal manusia. Dengan tetap berada dalam pernikahan yang mati, seseorang membiarkan dirinya terbelenggu oleh nilai-nilai yang mematikan semangat hidupnya. Hanya dengan keberanian untuk melepaskan, seseorang dapat menemukan jalan menuju kebebasan dan autentisitas.
Seperti dalam dialektika Hegelian, setiap tesis membawa antitesisnya sendiri. Pernikahan yang sudah sejak lama seharusnya berakhir adalah antitesis dari cinta sejati dan kemitraan yang harmonis. Seseorang harus melihat akhir dari pernikahan tersebut sebagai langkah menuju sintesis baru -- sebuah tahap kehidupan yang lebih jujur dan memenuhi eksistensi sejati. Dengan memahami bahwa setiap akhir adalah awal baru, kita dapat melihat kehancuran sebagai fondasi untuk membangun sesuatu yang lebih baik.
Dalam pandangan Camus, absurditas hidup kadang-kadang mengharuskan kita untuk membuat keputusan yang tampaknya tidak logis. Mengakhiri pernikahan adalah tindakan pemberontakan terhadap absurditas tersebut, sebuah penegasan bahwa kita tidak akan hidup dalam kebohongan yang terus menerus. Dengan menerima absurditas, kita dapat menemukan makna yang lebih dalam dalam kebebasan kita untuk memilih jalan yang berbeda.
Pernikahan yang telah kehilangan tujuannya adalah cermin dari kegagalan dalam menjalani kehidupan yang otentik. Berdasarkan pemikiran Sartre, keberadaan mendahului esensi -- kita adalah pencipta makna kita sendiri. Bertahan dalam pernikahan yang kosong hanya akan menciptakan esensi yang penuh dengan kepalsuan. Dengan memilih untuk mengakhirinya, kita mengambil langkah menuju penciptaan esensi yang lebih jujur dan sesuai dengan keberadaan kita.
Bagi Heidegger, keberadaan yang otentik mengharuskan kita untuk menghadapi keterbatasan kita sendiri dan menerima kematian sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan. Pernikahan yang telah lama seharusnya berakhir adalah pengingat bahwa kita harus menerima kematian dari hubungan yang sudah tidak memiliki makna. Hanya dengan menerima kematian ini, kita dapat sepenuhnya hidup dalam setiap momen dan menemukan makna baru dalam kehidupan kita.
Melalui pandangan feminisme eksistensialis, seorang individu, terutama perempuan, harus menemukan kebebasan dan kemandiriannya sendiri. Pernikahan yang telah lama seharusnya berakhir sering kali mencerminkan penindasan dan ketidaksetaraan yang tersembunyi. Dengan berani mengakhiri pernikahan tersebut, seseorang mengambil langkah menuju kebebasan dan kesetaraan yang sebenarnya, menolak untuk hidup dalam bayang-bayang dan pengorbanan tanpa akhir.
Akhirnya, dalam pandangan filsafat Timur, seperti Zen, kita diajarkan untuk hidup dalam keseimbangan dan harmoni dengan diri kita sendiri dan alam semesta. Pernikahan yang telah lama seharusnya berakhir adalah gangguan dalam keseimbangan tersebut. Dengan mengakhirinya, kita dapat menemukan kembali keseimbangan dan harmoni yang hilang, menerima perubahan sebagai bagian dari kehidupan yang terus bergerak maju.