Lihat ke Halaman Asli

Andriyansyah Marjuki

Saya adalah saya yang bukan kamu atau dia, apalagi kita.

Belajar Edan agar Tidak Menjadi Edan di Zaman Now

Diperbarui: 30 November 2018   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada saat ini dunia sudah bukan lagi edan, tetapi ueedaaannnnn. Tak perlu saya beri contohnya, silakan Anda tanyakan pada simbah Google. Keedanan ini sudah semakin terasa di segala bidang. Merasuki segala usia. Menyentuh berbagai jabatan. Menjalar di setiap waktu. Merambah ke setiap penjuru permukaan bumi ini. 

Anda tidak ikutan edan karena tidak ingin edan dan tidak bisa edan, maka sesungguhnya Andalah yang paling edan di muka bumi ini. Mengapa demikian? Silakan Anda pikirkan dan lihat sendiri di sekeliling Anda. Adakah sesuatu yang masih berjalan normal? Adakah sesuatu yang masih sesuai aturan? Adakah sesuatu yang masih "lurus" dan "murni" di sekitar Anda? Silakan "lihat" dengan mata batin Anda dan rasakan dengan nurani Anda yang paling dalam.

Mengapa saya menulis postingan ini? Saya hanya berusaha untuk mengingatkan diri saya pribadi bahwa kita butuh belajar, termasuk belajar edan agar tidak menjadi orang yang paling edan seperti yang saya kemukakan di atas. 

Dalam tulisan ini, saya tidak membicarakan Tuhan. Dia Maha Sempurna, tiada cacat sedikitpun. Segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya adalah satu-satunya yang paling lurus dan murni. Sementara itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluknya (baca: manusia) tidak terlepas dari segala "keedanan" yang saya maksudkan sebelumnya.

Saya mengajak diri saya sendiri untuk belajar. Dalam hal ini kita harus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan diri kita. Belajar apa saja dan kapan saja selama napas kita masih terasa. Untuk apa kita belajar? Tentu saja untuk diri kita sendiri agar kita siap dan bisa mengarungi lautan ganas kehidupan di muka bumi ini. 

Terkadang tingginya ilmu yang sudah kita miliki, masih belum cukup untuk melewati berbagai badai kehidupan yang ternyata jauh lebih dahsyat daripada pengetahuan dan keterampilan yang ada dalam diri kita. 

Justru badai itulah yang mengajari kita untuk menjadi lebih hebat lagi. Badai itulah yang merupakan guru sejati kita. Tanpa kita sadari, semakin banyaknya badai yang menghadang, semakin banyak ilmu yang harus dipelajari, semakin banyak ilmu yang kita dapatkan.

Masa depan kita bukanlah masa lalu yang sudah berhasil kita lewati. Masa depan kita adalah sesuatu yang tidak seorangpun mengetahuinya. Masa depan kita adalah tanda tanya. 

Untuk menghadapinya, tak ada cara lain selain belajar. Belajar apapun itu yang sekiranya kita perlukan di masa yang akan datang. Perlu Anda ingat, bahwa masa depan itu bukan lima, sepuluh, atau seratus tahun kemudian. 1 (satu) detik setelah Anda menghembuskan napas adalah masa depan dari sudut pandang saat ini (baca: detik ini). Dengan demikian, tak ada alasan untuk menunda waktu belajar kita. Kapan kita belajar? Tentu saja, sejak saat ini.

Selamat belajar dan mempelajari apapun untuk menghadapi badai ganas kehidupan yang telah menanti dan berjarak hanya 1 (detik) sejak saat ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline