Lihat ke Halaman Asli

Celoteh Petruk, Cuap-cuap Gareng

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Petruk dan Gareng sedang kongkow-kongkow di bawah sebuah pohon yang sangat rindang, tak ada cafe atau club di kampung mereka buat sekedar “mejeng”. Tapi cukup di bawah pohon sambil memandangi sekumpulan sapi yang sedang merumput di padang rumput luas di dekat istana negara Astina. Kedua pemuda yang berbeda perawakan ini, saling berkeluh kesah dan ngedumel tentang kejadian yang mereka lihat, alami dan rasakan. Petruk yang perawakannya kurus dan tinggi memilih untuk duduk bersila sambil menggigit rumput yang selalu terselip di antara giginya, sedangkan Gareng memilih untuk menyandarkan tubuhnya di pangkal pohon rindang itu, tak mampu menahan lipatan perutnya yang semakin hari semakin banyak dan bertambah saja, bila Gareng meniru posisi duduk bersila si Petruk, maka ia akan merasa kesulitan untuk menarik nafas. Kebalikan dengan si Gareng, si Petruk duduk bersila karena ia tak mau badannya yang kurus yang hanya tinggal tulang ditutupi daging tanpa lemak, beradu dengan kerasnya pangkal pohon, bisa menimbulkan rasa nyeri bila ada bagian pohon yang tak rata itu ia sandari.

“coba kau perhatikan sapi-sapi itu, kerjaan mereka Cuma makan, berak, kawin, lalu balik ke kandang hanya untuk tidur. Bila sudah waktunya mereka akan disembelih dan dagingnya dipotong-potong untuk dijual ke pasar” Petruk menunjuk ke arah gerombolan sapi itu.

“hidup mereka seperti tidak ada beban, karena mungkin mereka tahu anak-anak dan cucu-cucu mereka akan menggantikan posisi mereka di padang rumput ini”

Gareng mengangguk-anggukkan kepalanya, matanya terasa sangat berat, ia merasa ngantuk sehabis melahap beberapa ikan bakar yang mereka pancing dari danau. Tapi Gareng Cuma mengantuk saja, ia tak akan tertidur, karena ia tahu Petruk pasti akan menjahilinya bila ia tertidur. Lalu kemudian Gareng berucap,

“mungkin sungguh enak rasanya jadi sapi-sapi itu, berbeda kalau jadi manusia seperti kita, harus sekolah, harus bekerja, harus berpura-pura, harus selalu pake topeng”

“hehehehe....terus kamu sebenarnya mau jadi apa”tanya Petruk sambil tertawa.

“kalau boleh memilih aku ingin menjadi ikan saja, bebas berenang di lautan luas, tapi lautan pun tak luput dari tangan-tangan serakah manusia, mereka menangkap ikan dengan seenaknya, ada yang pakai pukat harimau, ada yang memakai bom, sampai-sampai ikan kecilpun semuanya pada ikut mati. Belum lagi terumbu karang yang sudah mulai habis dan terkikis, di mana lagi aku akan mencari makan bila terumbu karang sudah tak ada lagi, jadi mendingan aku jangan jadi ikan”Gareng mengusap-usap perutnya yang tambun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, membayangkan bila ia menjadi ikan.

“kalau aku ingin menjadi burung saja”sambung Petruk sambil mengepak-ngepakkan tangannya, membayangkan ia sedang terbang. Lalu ia berdiri dan melompat-lompat kesana kemari dengan tangan yang ia anggap seperti sayap burung.

“aku bisa terbang bebas di angkasa, menyeberangi samudera, mencari benua baru, dan tinggal di hutan yang luas”

Tapi kemudian Petruk kembali duduk bersila, ia menundukkan kepalanya lalu berkata,

“tapi apakah masih ada hutan yang bisa ku singgahi, apakah nanti angkasa yang ku lewati masih bisa ku hirup udaranya, sedangkan sekarang ini sudah terlalu banyak polusi yang terjadi, jangan-jangan nanti ketika aku terbang, aku akan pingsan di tengah jalan, lalu jatuh menghempas ke bumi, pasti sakitnya bukan main”

“hohohoho....makanya jangan jadi burung”kini Gareng yang ganti tertawa.

“begini saja, kita memilih profesi yang biasa manusia lakukan, itu tampaknya lebih meyakinkan dan menjanjikan”sambung Gareng lagi. kali ini raut mukanya seperti agak serius.

“profesi apa ya”Petruk menggaruk-garukkan kepalanya.

“kamu sendiri maunya jadi apa dulu”tanya Petruk kepada Gareng.

“aku mau guru saja, guru adalah profesi paling mulia di dunia ini, julukannya saja cukup membuat aku berdebar-debar, pahlawan tanpa tanda jasa”

“guru TK, SD, SMP, SMA atau jadi dosen”tanya petruk penasaran.

“nanti dulu aku pikir-pikir, kalau guru Tk sepertinya tak mungkin, anak kecil bisa terus-terusan menangis melihat perut dan wajahku yang seperti bola”Gareng menekuk dahinya, membentuk lipatan-lipatan kecil, menandakan bahwa ia sedang bepikir.

“kalau guru SD aku bisa juga, tapi nanti aku takut dituduh tukang cabul, menyodomi anak kecil, kalau guru SMP nanti aku Cuma jadi pedagang buku saja, menjual buku pelajaran kepada murid-murid”

“nah...guru SMA mungkin cocok”teriak Petruk.

“weis...kata siapa, bisa-bisa aku malah pacaran dan bikin video mesum sama murid-muridku”

“ok yang ini terakhir, berarti kamu jadi dosen saja”

“hohohoho, itu apalagi, makin gila jadinya, aku bukannya bikin video mesum lagi, tapi malah jadi germo buat mahasiswiku, jadi dosen serba susah juga, padahal gaji dosen lumayan buat makan dan beli rokok. Tapi ada saja dosen yang bisa di beli, dulu aku mendengar selentingan katanya ada dosen di kota sana yang bisa dibayar buat menyelesaikan skripsi mahasiswanya, Cuma di bayar 8 juta saja, segitu murahnya moral dosen itu, malahan ada dosen yang merangkap sebagai pakar kriminolog atau sosiolog, pokoknya yang begitulah. Dia di tivi berkoar-koar tentang moral dan hukum, padahal dia pernah bikin masalah karena bikin hamil salah satu mahasiswinya, untung berita itu tak menyebar kemana-mana, jadi nama baiknya bisa sedikit terjaga, oleh dia sendiri tentunya, belum tentu oleh orang lain”

“lantas kamu jadi apa dong, sepertinya kamu tak cocok jadi pendidik”Petruk mulai kesal dengan berbagai alasan Gareng.

“lho kamu sendiri bagaimana, maunya jadi apa”Gareng malah balik bertanya.

“aku mau bekerja di pemerintahan atau di parlemen, keren kan kalau seorang Petruk yang biasanya Cuma pake kaki telanjang dan tak berpenutup dada, tiba-tiba pakai jas dan dasi, plus sepatu kulit yang mengkilat. Kerja di antar oleh supir dengan mobil mewah fasilitas negara”Petruk membusungkan dadanya, mimik wajahnya dibuat sewibawa mungkin.

“keinginan yang hebat, berarti nanti kamu jadi menteri pembantu presiden, kalau tidak kamu menjadi anggota dewan yang katanya terhormat itu”Gareng kagum dengan keinginan Petruk.

“tapi aku dengar sekarang anggota dewan lagi kasak-kusuk ketakutan, begitu juga beberapa menteri pembantu presiden itu”Gareng mengingatkan Petruk tentang berita beberapa minggu belakangan ini.

“benar juga, KPK sekarang lumayan punya taji, sarangnya korupsi mulai digali, takut juga jadinya. Kan di parlemen itu terbagi-bagi menjadi beberapa komisi, berarti orang-orang itu bekerja berdasarkan komisi dong, pantasan ada yang sampai minta uang ke kepala daerah”

“jangankan anggota dewan, para penegak hukum seperti jaksapun malah minta duit buat bikin bengkel, ada-ada saja, mintanya sampai miliaran, kalau buat beli sapi bisa dapat berapa ya”Gareng mencoba menghitung dalam hati dengan uang miliaran itu.

“kalau menteri bagaimana”tanya gareng setelah merasa kapalanya pusing menghitung uang miliaran untuk membeli sapi.

“kalau menteri juga tak jauh beda, wong isinya kebanyakan orang partai yang pernah duduk di parlemen, makanya pasti tak jauh dari korupsi”sahut Petruk yang putus asa karena profesi yang ia pilih tak memuaskannya.

“gawat juga kalau korupsi terus, bisa-bisa negara ini jadi bangkrut gara-gara mereka, lebih baik mereka dihukum gantung saja, ribuan bahkan jutaan orang bisa sengsara gara-gara mereka”sahut petruk geram. Giginya sampai ia rapatkan satu sama lain, tulang rahangnya menyembul di balik pipinya yang tak berlemak.

“jangankan mereka, dari kepala lingkungan saja, beras yang seharusnya disalurkan kepada rakyat miskin seperti kita malah disikat juga, memang sudah kelewatan moral bangsa ini, jangan sampai para dewa tahu dan marah atas tingkah laku mereka. Kalau mereka tahu, bisa-bisa para koruptor itu diubah jadi tikus”.

“kalau diubah jadi tikus mereka masih bisa mencuri beras di lumbung pak tani”Gareng kurang puas dengan pendapat Petruk.

“diubah jadi sendal jepit saja, biar orang seperti kita bisa menginjak-injak mereka, kan selama ini kita juga mereka injak-injak”Gareng menginjak rumput di bawah kakinya dengan geram.

“setuju”sahut petruk.

“berarti aku tak cocok kerja di pemerintahan dan parlemen”petruk menyerah.

“lalu kamu mau jadi apa lagi”tanya Petruk kepada gareng.

“em....jadi Artis”Gareng bersorak-sorak sambil berdiri, lalu ia bergoyang laksana penyanyi dangdut, pantatnya meliuk-liuk seperti Dewi Persik yang sedang Manggung.

“kan profesi itu tak jauh dengan profesi kita yang selalu membuat orang tertawa, itu juga menghiburkan”kata Gareng kegirangan.

“tapi nanti kamu dicekal kalau goyangnya terlalu “hot”, dan disuruh orang telanjang, apa kamu mau seperti itu”tanya petruk.

“loh kitakan pekerja seni”sahut Gareng.

“seni ya seni, tapi kalau bikin orang “horni” ya tetap saja tak baik, kitakan katanya bangsa yang beradab dan bermoral, sudah lupakan saja jadi artis, lagian jadi artis sering masuk infotainment yang selalu ingin tahu urusan pribadi orang, gosip kok jadi gaya hidup. Jadi artis juga rawan dengan pergaulan bebas, narkoba dan seks yang jelas-jelas bertentangan dengan sikapmu selama ini, kamu menyentuh arak satu teguk saja langsung pingsan, bagaimana kalau kamu menghisap ganja atau sabu-sabu, mungkin bisa tidur tujuh hari tujuh malam”Petruk memberikan pandangannya secara panjang lebar.

“kamu malah bikin saya jadi merinding, sudahlah gantian kamu sekarang mau jadi apa?”Gareng menghempaskan pantatnya ke tanah. Rumput di bawahnya langsung rata dan beberapa daun berguguran terkena getaran pantat Gareng.

Petruk menopang dagunya dengan satu tangan, memikirkan profesi apa lagi yang ia inginkan. Ia memandang ke arah sapi-sapi yang sedang merumput. Tiba-tiba ia jadi ingat satu profesi setelah melihat sapi-sapi itu.

“aku mau jadi pembunuh bayaran, tapi yang ku bunuh adalah orang-orang jahat”Petruk mengeluarkan goloknya dan menyilangkan golok itu di dadanya, persis seperti gambar pahlawan pada uang seribuan.

“membunuh orang dosa”sahut Gareng tak antusias.

“tidak akan dosa bila aku membunuh orang yang merugikan orang banyak, malahan aku bisa mendapat pahala dan tanda jasa”sahut Petruk garang sambil mengayunkan goloknya ke samping.

“kitakan negara hukum, tak boleh main hukum sendiri”Gareng mengingatkan Petruk yang masih semangat mengayunkan goloknya.

“kalau hukumnya sudah tak berfungsi, mungkin akan dibutuhkan seorang super hero seperti Petruk”sahut Petruk.

“lalu bila kamu mau menjadi pembunuh bayaran, siapa yang akan membayar kamu, orang baik tak akan mau membayar seorang pembunuh bayaran. Biasanya pembunuh bayaran dibayar oleh para orang jahat yang menghendaki nyawa orang hilang”Gareng melempar sebuah kerikil ke arah kepala Petruk untuk menghentikan aksi konyolnya yang mengayun-ayunkan golok dengan sembrono.

“apakah itu benar”tanya Petruk sambil memasukkan goloknya kembali kedalam sarung golok.

“berarti aku ikut jadi orang jahat bila aku bekerja dengan penjahat, tak mau aku di sebut penjahat, nanti bisa di hukum sama Romo”Gareng membayangkan wajah sang Romo yang sedang marah.

“sulit juga memilih profesi, padahal kita belum menjalani, baru memilih saja sudah membuat aku jadi tak bersemangat” Petruk kini ikut tiduran di samping Gareng.

“hohohohoh”Gareng hanya tertawa, matanya sudah semakin mengantuk.

“gareng, bagaimana kalau aku menjadi Tuhan saja”kata Petruk pelan.

“HUS...!!!! jangan ngaco, bisa kualat kamu”Gareng menyenggol lengan Petruk sampai Petruk teguling ke samping.

“begini saja, kamu jadi matahari, aku jadi air, lalu kita berubah lagi, kamu jadi tanah aku jadi udara. Bukankah itu yang membuat bumi dan seisinya tetap ada”Gareng memberi sebuah usul.

Petruk sejenak memikirkan ide si gareng, lalu ia berjalan ke tengah padang rumput, menuju pinggiran danau. Petruk mengembangkan kedua tangannya, membiarkan matahari menyinari tubuhnya yang telanjang dada, lalu ia menghirup nafas dalam-dalam. Setelah itu ia berjongkok dan mengambil segenggam tanah dan memperhatikan tanah di genggamannya dengan seksama, seperti sedang meneliti sesuatu. Setelah itu ia mengambil air danau dengan daun, dan meminumnya, cukup satu teguk, tapi petruk sudah cukup mengerti apa yang dimaksud oleh Gareng. Selama ini keempat elemen paling penting di bumi inilah yang memberi kehidupan dan memberi kekuatan bagi seisinya. Tapi petruk merasa ada suatu kesalahan. Kesalahan yang terletak pada perilaku manusia. Yang menghancurkan semuanya tanpa memikirkan apa yang hendak mereka wariskan kepada anak dan cucu mereka kelak. Semuanya demi uang dan kekuasaan, semuanya demi sebuah kepuasan yang tak pernah ada kata akhir. Yang namanya manusia tentu saja tak pernah ada kata puas, selalu ingin lebih dan lebih dari apa yang ia terima.

Dari kejauhan Petruk mengacungkan jempolnya kepada Gareng, memberi tanda ia setuju dengan ide brilian Gareng. Tapi ia tak tahu bahwa Gareng sudah tertidur pulas, rasa kantuknya terlalu berat untuk ia lawan, angin yang sepoi-sepoi berhembus, membuat Gareng tambah tak bisa menahan kantuk yang menyerang dari tadi. Petruk yang merasa tak digubris oleh Gareng, melangkah mendekat. Dengan senyum ia memandangi Gareng yang sedang tertidur. Lalu ia ambil sebatang rumput, dan menggelitik telinga serta hidung Gareng. Selanjutnya Petruk pura-pura ikut tertidur sambil sesekali memicingkan matanya mengintip apakah Gareng terbangun atau tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline