By. Suherman Syach
Mengawali bulan Ramadhan tahun ini, kita diterpa kegaduhan. Tak tanggung-tanggung gaduhnya datang dari para pesohor negeri. Menurutku, isunya sepele, tetapi bagi orang lain, rupanya sangat sensetif. Termasuk para pesohor itu. Beruntungnya, penetapan 1 Ramadhan kompak. Andai berbeda, pasti gaduhnya dobel ganda campuran. Hehe.
Pemicu kegaduhan datang dari istana. Rupanya, orang-orang istana masih trauma dan mewaspadai virus mematikan CORONA. Berdalih kehati-hatian atas penyebaran corona kembali, istana melalui Sekretaris Kabinet mengeluarkan surat edaran melarang buka puasa bersama (Bukber). Meski surat edarannya terbatas, tetap saja ramai disoal.
Opini pertama yang saya baca, datang dari seorang influenser, M. Rizal Fadillah. Katanya, dia pemerhati politik dan kebangsaan, tapi saya tidak kenal orangnya. Dalam tulisannya yang tersebar di media sosial, saya nilai cukup propaganda nan destruktif. Judulnya, "Istana Melarang Buka Puasa Bersama, ini Negara PKI?".
Narasi yang dikembangkannya diluar nalar atau logika sehat. Jika pun istana melakukan pelarangan Buka Puasa Bersama, apa relevansinya dengan negara PKI. Mengapa isunya ditarik dalam rana PKI? Toh PKI sendiri tidak pernah melarang buka puasa bersama. Menurut saya, Rizal Fadillah ini melebih-lebihkan dan hanya "menyerang" dalam konteks politik semata. Menjatuhkan rezim istana saja.
Tanggapan kedua, datang dari pesohor bekas orang istana. Prof. Yusril Izha Mahendra. Meski pun, bukan seistana dengan rezim sekarang, Prof. Yusril mengkhawatirkan pelarangan buka puasa ini sebagai kebijakan berbahaya. Menurut pakar Hukum Tata Negara ini, kebijakan tersebut berpotensi menyerang presiden Joko Widodo dan dicap sebagai anti Islam. Baca : detiknews.com
Bekas Ketum Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin juga angkat bicara. Menurutnya, kebijakan larangan buka puasa bersama meski ditujukan khusus bagi instansi pemerintah sebagai kebijakan yang tidak arif dan tidak adil. Prof. Din menilai larangan itu justru terkesan tidak memahami makna dan khikmah dari buka puasa bersama pada bulan Ramadhan. Baca : CNN Indoensia.com.
Prof. Yusril dan Prof. Din merupakan pesohor negeri dan keduanya adalah aktivis Partai Politik. Tentu saja, pandangan keduanya akan dinilai bias politik. Jika Prof. Yusril di bawah bendera Partai Bulan Bintang lebih "berangkulan" dengan rezim Joko Widodo. Sementara Prof. Din dikenal sebagai salah satu tokoh "opsosisi" dengan partai barunya, Partai Pelita.
Isu larangan buka puasa bersama, juga ditanggapi para aktivis Organisasi Masyarakat (Ormas). Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) dan PP Muhammadiyah angkat bicara. Ketum PB NU, Gus Yahya meresponden lebih santai. Bahkan tidak khawatir, jika presiden Joko Widodo dicap anti Islam. Karena seperti klarifikasi Menag, Gus Yaqut, adik kandung Gus Yahya, presiden Joko Widodo merupakan sosok yang diyakini sangat perhatian kepada Islam di Indonesia.
Lain halnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir yang justru mempersilahkan pemerintah mengambil kebijakan melarang pejabat buka puasa bersama, Hanya saja, menurut Prof. Haedar kebijakan tersebut harus koheren dan objektif dengan kebijkan pemerintah yang lain. Supaya tidak menimbulkan kesan bahwa kegiatan keagamaan dibatasi sementara yang lain tidak.
Secara tegas, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Cholil Nafis justru mendesak presiden Joko Widodo mencabut surat edaran tentang larangan buka puasa bersama. Alasannya, membuat gaduh bulan Ramadhan. Menurutnya, larangan buka puasa bersama demi hidup sederhana, apa lagi Corona, tidak realistis dan tidak menemukan momentumnya. Baca : muslimtrend.com.