Kompas hari ini (06/09/16) menulis berita soal bermasalahnya politik dinasti di berbagai Pemda di Indonesia, terkait tindak pidana korupsi atau tipikor. Menjadi pertanyaan kunci adalah apakah memang benar politik dinasti yang salah atau ada hal lain yang menjadi biang kerok maraknya tipikor di tengah bangsa kita?
Mari kita singkap secara praktis dan dengan jujur sikap kita terhadap berbagai hal berikut ini:
1. Kebiasaan mengajak damai petugas Polantas dalam kasus pelanggaran lantas darat daripada mengikuti Sidang Tilang
2. Sumbangan sukarela di RT, RW, dan atau Kelurahan untuk pengurusan dokumen administratif
3. Permintaan sumbangan di jalan-jalan untuk pembangunan rumah ibadah
4. Kegiatan mahasiswa mengumpulkan sumbangan dengan kotak karton yang biasanya dalam rangka merespon berbagai bencana kemanusiaan
5. Kegiatan rutin tahunan Komite Sekolah meminta sumbangan dari orangtua murid baru
6. Kebiasaan menitipkan seseorang kepada petugas penguji dalam ujian permohonan SIM atau dalam tes penerimaan pegawai
7. Kebiasaan pemberian hadiah sebagai ucapan terimakasih karena kerabat sudah diterima bekerja, biasanya di kalangan instansi pemerintah
Apakah kegiatan No. 2 - 5 pernah diikuti dengan Laporan Pertanggungjawaban pelaksana kegiatan? Padahal laporan pertanggungjawaban adalah bagian dari transparansi yang mensyaratkan akuntabilitas. Jika sejak mahasiswa saja sudah terlatih tidak akuntabel, bagaimana bangsa ini bisa berharap kelak akan menjadi bangsa yang mampu bertanggungjawab dalam segala hal?
Kemudian kebiasaan No.7 oleh bangsa ini disikapi sebagai sikap wajar. Itu adalah turunan dari budaya upeti sejak kelahiran klan, puak, dan kemudian tumbuh menjadi kerajaan-kerajaan tradisional di seluruh Nusantara. Upeti bisa bermacam-macam wujudnya mulai dari uang, hasil bumi, benda2 berharga, dan kerabat perempuan entah sebagai penari yang bispak, selir atau jika "beruntung" jadi istri. Lalu berkembanglah sebuah ajaran: bukankah kita harus dan wajib berterimakasih kepada siapa pun yang telah menolong kita?