Lihat ke Halaman Asli

Abang Rahino S.

Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

Kemacetan Lalulintas Adalah Pilihan

Diperbarui: 12 Juli 2016   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Macet dan Tidak Adalah Pilihan Kalian

Kemacetan lantas jalan yang beberapa hari terakhir ini menjadi trending topic di berbagai media dumay dan offline, adalah pilihan kalian yang terkena macet. Mengapa saya sebut kalian, karena sudah puluhan tahun saya sengaja tidak membangun budaya mudik tersebut untuk tidak memperparah keadaan.

Sehingga tidak selayaknya jika kejadian Brexit a la Brebes dibesar-besarkan apalagi Fahri Hamzah dari Senayan berteriak agar semua Menteri Kabinet Kerja mundur semua. Mengapa ini saya sebut pilihan? Demikian tutur-nalarnya:

  1. Volume ranmor di jalan adalah akibat dari kebijakan menggenjot produksi dan penjualan dengan segala fasilitas pendukung seperti regulasi, perbankan, dan perdagangan. Budaya konsumtif dijadikan obor. Budaya ini berakar pada asas kapitalisme yang menghendaki produksi tetap tinggi.
  2. Kebijakan berorientasi konsumsi tersebut adalah sifat dasar ekonomi pasar bebas kapitalisme. Sejak November 1967 bangsa ini dijebak kaum penjajah model baru (neo kolonialisme/nekolim) dengan berbagai iming-iming “kemakmuran” untuk menyuburkan kapitalisme berorientasi pasar di tengah bangsa ini. Lambang kemakmuran adalah hal-hal fisik kasatmata: rumah bagus, kekayaan melimpah, kendaraan bagus, busana necis, hidup berkelimpahan dan akhirnya hedonis.
  3. Demi No.2 tersebut maka diciptakanlah kalangan menengah Indonesia. Mereka ini mulai ada sejak dasawarsa 1980an. Kaum menengah ini tidak murni kaum menengah semua, namun sebagian besar adalah karbitan dengan dorongan berbagai fasilitas kemudahan. Berbagai kredit konsumtif diciptakan, bahkan SK Pegawai Negeri Sipil atau anggota militer/polisi pun bisa dijadikan agunan untuk memperoleh kredit konsumtif. Bersamaan dengan itu dibangun sebuah persepsi bahwa utang adalah lumrah, business as usual. Bahkan beberapa hari lalu teman saya PNS berkelakar, adalah sebuah dosa jika SK PNS tidak “disekolahkan” (maksudnya dijadikan agunan).
  4. Kalangan menengah inilah pendorong utama konsumsi. Mereka terus menerus secara terstruktur, sistemik, dan masif (TSM) didorong untuk selalu menjadi konsumtif. Perhatikanlah semua iklan di media cetak, elektronik, dan media online. Secara TSM iklan-iklan ini terus menerus mendorong kaum menengah (dan atas) untuk membeli, membeli, dan membeli dengan mencuci otak konsumen bahwa barang dagangan mereka adalah baru. Bukankah selalu ada kata “baru” dalam setiap iklan? Target utama semua iklan adalah kalangan menengah ke atas.
  5. Sementara itu negara tidak mengimbangi peningkatan konsumsi di berbagai bidang, dengan infrastruktur dan suprastruktur memadai. Bahkan di bidang infrastruktur sangat parah. Peningkatan jumlah ranmor sangat tidak sebanding dengan peningkatan panjang jalan yang dibangun. Gubernur DKI Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama bahkan mengatakan bahwa mau ditambah panjang jalan berapa pun, wilayahnya tidak akan terbebas dari kemacetan lalulintas. Mengapa? Karena menurutnya penambahan ranmor di Jabodetabek sudah tidak masuk akal. Berikut sedikit angkanya. Satu hari, Jakarta bertambah 300 mobil, tambah Tangerang, Bekasi, Depok jadi 800. Sepedamotor per hari terdaftar 1.400an motor baru. Sehingga per bulan ada sekitar 45 ribu penambahan ranmor di jalanan Jabodetabek saja. Perwakilan Mercedez Benz dari Jerman saja dibuat tercengang dengan angka ini.
  6. Peningkatan mobilitas manusia Indonesia tidak diimbangi dengan peningkatan sarana dan prasarana perhubungan yang memadai, jaminan keselamatn tidak memadai, dan kenyamanan pengguna lantas jalan, laut, sungai dan udara tidak sepenuhnya terpenuhi. Walau harus dicatat prestasi PT KAI sangat signifikan, dan perlu diapresiasi tinggi sejak perusahaan plat merah ini dipimpin oleh Ignasius Jonan yang sekarang Menhub. Namun kualitas perhubungan laut, kualitas penyebrangan dan angkutan sungai, apalagi kualitas infrastruktur lantas darat non-kereta api, sangatlah parah rendahnya.

Dari enam butir catatan itu jelas, bahwa kemacetan lalulintas di mana-mana, termasuk yang terjadi selama musim mudik Lebaran 2016, adalah pilihan kalian.

Pilihan Solusi Hanya Sedikit

Hanya terdapat dua pilihan yang tersedia jika kalian tidak mau lagi terjebak kemacetan lalulintas seperti Juni-Juli 2016 pada khususnya, atau pun kemacetan lantas darat sehari-hari di berbagai kota pada umumnya. Kedua pilihan tersebut adalah:

  • Hilangkan atau paling tidak kurangi budaya konsumtif kalian. Jika ini berhasil kalian lakukan, maka akibat ikutannya akan banyak termasuk akan berkurangnya volume kendaraan bermotor di jalanan.
  • Pergunakan angkutan publik massal seperti bis atau kereta api. Tentu pihak pemerintah wajib membangun lingkungan yang mendukung bagi terciptanya budaya penggunaan transportasi publik ini.

Sudah. Hanya itu pilihannya, lain tidak ada lagi! Selamat bermacet-macet ria…




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline